Maka istilah “angkringan” yang pada awalnya mengarah ke penjual makanan yang didorong gerobak, atau tenda pinggir jalan dengan aneka makanan, dan pengunjungnya duduk di bangku panjang, dan harganya murah, kini sudah berubah.

Angkringan sekarang tak Cuma sekadar gerobak atau tenda pinggir jalan. Angkringan sudah naik peringkat. Tempatnya bagus, eksotik, bangunannya natural cenderung ke klasik tradisional. Misalnya bangunan bambu, kemudian arsitektur joglo, ditambah aksesoris klasik dan antik sebagai hiasan.

Salah satu angkringan di Semarang yang punya daya Tarik di antaranya adalah Kampung Jawi Semarang yang berada di Kelurahan Sukorejo masih di Kecamatan Gunungpati. Memang tidak di pinggir jalan raya. Lokasinya agak masuk ke kampung, tetapi sensasinya luar biasa.

Berada di sebuah lahan pinggir Sungai Kripik, berdiri bangunan dengan dominasi bahan kayu dan bambu. Di bagian depan ada joglo dengan seperangkat gamelan di dalamnya. Kemudian di samping joglo ini terdapat bangunan yang menjadi pusat jajan.

Uang Tunai Tak Berlaku

Aneka makanan dan minuman disediakan di setiap “booth” atau kios-kios. Masing-masing booth menyediakan makanan atau minuman yang khas, dengan penjual yang berbeda satu dengan lainnya. Dan uniknya lagi, wisatawan atau pengunjung yang datang ke sini, tidak membayar makanan yang dipesannya dengan uang tunai. Bolehlah disebut, uang tunai tak berlaku di sini.

blank
Pengunjung menikmati hidangan aneka kuliner di tempat terbuka. Foto: Widiyartono R.

Baca juga Desa Wisata Brilian Kampung Durian Diresmikan, Bupati Blora Minta Bumdes Jaga Citra

Sebelum masuk, pengunjung harus menukarkan uangnya dengan kepingan kayu semacam koin. Satu koin dihargai Rp 3.500. Dan harga-harga makanan-minuman dibadrol dengan harga 2 koin, 3 koin, atau 4 koin, tergantung jenisnya.

Kampung Jawi ini diinisiasi oleh Siswanto, warga setempat yang punya kepedulian pada masalah budaya dan tradisi. Maka, dia pun mengonsep tempat kuliner ini dengan berpegang pada tradisi dan budaya. Termasuk transaksinya yang menggunakan koin, meniru apa yang berlaku pada zaman Majapahit.

Siswanto mengaku, Kampung Jawi yang ia dirikan ini penuh liku. Seperti biasa, selalu ada yang suka dan tidak suka, ada yang pro ada yang kontra. Dia mengaku, sempat ada penolakan warga pada saat awal dia menggagasnya.

Namun Siswanto tetap teguh menjadi kawasan pinggiran kali ini sebagai tempat untuk kegiatan budaya dan kuliner. “Sampai-sampai saya pernah dianggap sebagai wong edan,” tutur Siswanto.

Dia memang mengawalinya sekitar tahun 2012 – 2014, meski belum seperti yang sekarang.

“Dulu masih di bawah pohon jati yang sekarang jadi tempat parkir. Buka juga hanya pagi dan pada hari pasaran saja atau lima hari sekali. Ini berlangsung sampai sekitar tahun 2018. Saat mulai sepi, jualan saya pindah malam dan setiap hari,” kata Siswanto.

Awalnya memang ditentang warga, namun seiring perjalanan waktu dan semakin hari semakin ramai, akhirnya kini ada sekitar 50 warga yang bergabung di Kampung Jawi ini.