blank
Penjual berpakaian kain tradisional lurik melayani pengunjung di Kampung Jawi. Foto: Widiyartono R

KINI, apa sih yang tidak bisa dijual atas nama pariwisata. Kalau dulu tahun 70-an, dalam pikiran orang pada umumnya, pariwisata adalah piknik. Tujuan piknik yang umum waktu itu pantai, kebun binatang, atau gunung.

Kemudian kata pariwisata bisa ditemukan pada bagian atas depan bus, di tempat yang biasanya digunakan untuk menunjukkan trayek bus tersebut. Tulisan “pariwisata: menunjukkan bahwa bus tersebut sedang digunakan untuk “piknik”. Selain kata pariwisata, biasanya tulisan lainnya di bagias depan atas bus itu “darmawisata” atau “rombongan”.

Tetapi berpuluh tahun kemudian, makna pariwisata itu berkembang. Pariwisata tak sekadar pantai, laut, gunung, dan kebun binatang. Kalau boleh diistilahkan “apa saja bisa dijual atas nama pariwisata”.

Ya, dulu makan ya makan saja, di restoran, warung, jajanan pinggir jalan (food street). Tetapi sekarang, tentang makanan sudah menjadi bagian dari pariwisata, dan biasa disebut “wisata kuliner”. Bukan hanya resto besar yang menyediakan makanan western, oriental, atau makanan “wah” lainnya.

Kampung Jawi Semarang

Saat ini, banyak orang yang terpikat pada tempat-tempat makan yang terkesan klasik, dengan bangunan yang natural seperti berbahan kayu atau bambu, kemudian terkesan “sangat tradisional”.