Baca juga Ada Delman Ditarik Kuda di Pantai Ombak Mati Jepara
Pada saat subuh, ratusan orang bergerak menuju Bukit Sikunir, untuk menyaksikan keindahan terbitnya matahari. Golden Sunrise in Sikunir. Sebuah keindahan yang luar biasa.
Status sebagai “desa tertinggi” inilah yang kemudian menjadi brand, terlebih dengan dimilikinya pemandangan indah saat matahari terbit yang dipandang dari Bukit Sikunir. Genaplah sudah.
Konon, bermula dari para penggemar fotografi di Wonosobo yang suka hunting menemukan fenomena luar biasa, ketika mengambil foto saat matahari terbit di Sikunir. Bukit Sikunir berada tak jauh dari desa itu.
Mereka pun menyebarkan foto itu dengan melabelinya sebagai “The Golden Sunrise”. Setelah itu, orang mulai datang ke Sembungan untuk tujuan menonton matahari terbit.
Minat pengunjung yang makin membesar, menumbuhkan kesadaran warga, bahwa ini potensi. Mereka sadar, kentang tak lagi memberikan harapan yang begitu besar. Maka kemudian, warga mulai menyediakan rumahnya untuk menginap orang-orang yang hendak mendaki. Dan, tentunya menyiapkan makan dan sebagainya. Ini yang kemudian berkembang menjadi pondok wisata atau home stay yang bertebaran di desa itu.
Dengan semakin banyaknya wisatawan yang memburu matahari terbit ke sini, maka kemudian dibentuklah Kelompok Sadar Wisata, yang bersama-sama mengelola tujuan wisata fenomenal ini. Aturan-aturan mereka buat, dipilih pemandu yang memandu wisatawan ke puncak, termasuk aturan berjualan makanan, perlengkapan mendaki (sarung tangan, penutup kepala/kupluk), parkir, harga sewa homestay, dan sebagainya.
Sensasi Kentang Bakar
Pengunjung biasanya datang sore hari. Mereka menginap di pondok wisata dengan layanan prima, tentu saja dengan cara desa. Sajian tempe kemul, kentang goreng, dan makanan lainnya bisa dilahap dengan bebas oleh para penginap sambil minum teh atau kopi panas.
Tetapi awas, kopi atau teh itu benar-benar panas, meskipun ketika masuk mulut hanya terasa hangat. Itu karena pengaruh udara yang amat dingin. Maka hati-hati agar bibir tidak melepuh.
Sambil ngobrol, biasanya pengunjung duduk bersama pemilik rumah melingkari anglo dengan arang yang membara. Mereka menghangatkan badan.
Pengunjung boleh saja sambil iseng minta kepada pemilik rumah dua atau tiga butir kentang, dan dipanggang di anglo itu. Rasanya, wuihhhhhh, nikmat sekali. Bolehlah pula dimakan dengan dicocol saus sambal.
Segera Tidur
Jangan terlalu lama ngobrol, karena pukul empat pagi harus sudah bangun dan siap mendaki. Dengan naik mobil yang membawa pengunjung ke sana, rombongan diantar sapi parkiran di pinggir Telaga Cebong. Setelah itu, ditemani pemandu, start mendaki melintasi ladang kentang, kemudian menyusur jalan setapak. Ya, meskipun ini bukit yang tidak terlalu tinggi, tetapi cara pendakiannya tak beda dengan pendakigunung biasa.
Sarung tangan, penutup kepala, lampu senter harus tersedia. Bila normal, tenaga fit, pendakian bisa diselesaikan dalam waktu sekitar setengah hingga tiga perempat jam. Tetapi, bisa saja molor. Tetapi jangan khawatir, bila tak kuat sampai puncak, ada sedikitnya tidak pos perhentian, dan pos ketiga sudah cukup untuk menikmati terbitnya matahari.
Baca juga Watu Putih, Destinasi yang Harus Diampiri Bila ke Borobudur
Namanya saja mendaki gunung, maka jangan harap jalannya mulus. “Waduh, jalannya lebih enak naik Bromo dibanding Sikunir,” kata Ana dari sebuah biro perjalanan. Dia harus puas di perhentian ketiga, sementara yang lain terus naik bersama ratusan pendaki.
Indahnya Matahari Terbit
Di puncak, ratusan orang sudah sampai. Mereka duduk di glugu (batang pohon kepala) yang sengaja dipasang di puncak, berfungsi sebagai tempat duduk atau tempat berdiri saat menyaksikan matahari terbit.
Glugu ini dibawa dari Kaliwiro, lebih dari 50 km dari lokasi, karena di Dieng jelas tak ada pohon kelapa.