Oleh: Amir Machmud NS
PRAKSIS bermedia — baik media mainstream maupun media sosial — kini banyak mengapungkan istilah publik tentang flexing, gaya unjuk diri untuk meraih viralitas.
Padanan kata itu terkesan norak: “pamer”, yang sebenarnya beraksen sama, yakni unjuk keunggulan eksklusif.
Istilah ini sebenarnya sudah populer sejak 1990-an di Amerika Serikat. Cambridge Dictionary mengartikan flexing sebagai menunjukkan sesuatu yang dimiliki atau diraih dengan cara yang dianggap tidak menyenangkan oleh orang lain.
Flexing muncul di tengah arus “ideologi ngonten” di media sosial, mengetengahkan apa saja yang menurut para pelaku ingin secara mencolok ditampilkan. Tentu termasuk memamerkan eksklusivitas, ketika seseorang merasa hanya dia yang memiliki atau bisa melakukan/ meraih secara istimewa.
Lewat aneka platform media sosial, seseorang bisa dengan sengaja “unjuk keberadaan”. Dia men-“show of force”-kan barang-barang branded: tas, sepatu, arloji, topi, juga outfit. Banyak pula yang bergaya dengan mobil eksklusif, motor, sepeda, menikmati fasilitas mewah, atau berselfie dengan latar belakang objek-objek wisata di luar negeri.
Eksplorasi Pemberitaan
Dengan status sosial sebagai pejabat, istri pejabat, keluarga orang penting, atau anak pejabat, barang tentu flexing mudah mengundang sorotan dan komentar. Medsos menjadi ruang persebaran dengan mobilitas sangat cepat, yang berpotensi diikuti oleh eksplorasi pemberitaan di media arus utama dengan tafsit-tafsir lebih kritis.
Logika awal yang dikembangkan, seimbangkah pendapatan seorang pejabat — dari golongan dan kepangkatan tertentu — dengan aneka kemewahan yang dipamerkan oleh istri atau keluarganya?
Kalaupun ada justifikasi tentang pendapatan lain di luar gaji oleh keluarga si pejabat, apakah gaya pamer seperti itu pantas dilakukan? Dalam etika kepatutan sosial misalnya, dan apalagi dari ukuran kepekaan hidup bermasyarakat?
Sebagai contoh, kasus penganiayaan David Ozora Latumahina oleh Mario Dandy Satrio — anak seorang pejabat perpajakan sejauh ini menjadi “kotak pandora” yang memunculkan realitas tentang gaya hidup hedon di kalangan keluarga para pejabat. Simbol-simbol hidup mewah, kesenjangan dalam pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), jumlah aset, lalu akhirnya transaksi mencurigakan menjadi mata rantai sorotan.
Dulu, pada 2010-2011 kasus Gayus Tambunan membuka realitas tentang mafia pajak. Skandal tersebut terendus oleh media dimulai dari gaya hidup hedon si pegawai pajak.
Sementara itu, yang terbaru, seorang pejabat Kemensetneg dinonaktifkan sementara, setelah viral di Instastory, istrinya pamer mobil baru hadiah ulang tahun.
Fungsi Kontrol
Dari kasus Mario Dandy dan istri pejabat Kemensetneg, terasa benar fungsi kontrol media seperti amanat Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Pers makin dimudahkan oleh kiprah media sosial, khususnya berkat “ideologi konten” sebagai gaya hidup.
Kebiasaan unjuk eksklusivitas memunculkan flexing sebagai ekspresi naluri “show”. Ketidakmampuan menahan diri, tanpa disadari justru memerangkap orang dengan perilaku seperti itu, yang lalu membuka mata media dan mata publik di ruang realitas.
Dalam kondisi demikian, medsos bisa menjadi “leader” bagi media arus utama yang meneruskan “temuan publik” itu untuk memainkan fungsi kontrol sosial, dan memberi arah dalam kebijakan pemberitaannya. Pemaparan kebenaran, rasa keadilan publik, dan tujuan kemaslahatan menjadi ruang kiprah wartawan dan media.
Media tentu tidak dalam posisi latah, karena kontrol sosial merupakan fungsi yang melekat sebagai perintah undang-undang. Bukankah realitasnya, kasus Mario kemudian membuka “kotak pandora” tentang harta ayahnya, kondisi gaya hidup sejumlah petinggi di Dirjen Pajak, dan sorotan terhadap Kementerian Keuangan? Bagaimanapun, itu adalah produk kolaborasi medsos dengan media mainstream.
Jebakan Flexing
Realitas gaya hidup hedon, kultur pamer, dan “ideologi ngonten” untuk menciptakan viralitas, pada akhirnya tak terhindarkan menjadi perangkap bagi mereka yang tak punya sensitivitas sosial.
Dalam hal ini media bisa memerankan fungsi kontrol dengan mengulik kepatutan dan etika sosial. Kolaborasi teknis dengan media sosial terbukti bisa menghasilkan orkestrasi pemberitaan yang sangat bermakna.
Varian pemberitaan media berupa pernyataan pejabat yang memberi determinasi tinggi dalam penegakan hukum, suara-suara kritis para ahli, sorotan intensif akademisi, dan temuan-temuan yang dipicu oleh gaya hidup hedon, flexing, menjadi “otot jurnalistik” media untuk mem-follow up-i, memverifikasi, dan memberi arah dengan standar mekanisme berjurnalistik dan bermedia.
— Amir Machmud NS; dosen jurnalistik Prodi Ilmu Komunikasi, Fiskom UKSW Salatiga, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —