Apalagi halal bihalal bermakna maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang, ini merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia yang sudah menjadi tradisi.
Dengan demikian pelaksanaan buka puasa bersama dan halal bihalal sudah tradisi yang dilaksanakan dalam bulan Ramadan untuk buka puasa bersama, dan halal bihalal di bulan Syawal, yang notabene momentum setahun sekali. Mengandung makna, halal bihalal merupakan sebuah media untuk mengembalikan kekusutan hubungan persaudaraan dengan saling memaafkan pada saat atau setelah Hari Raya Idul Fitri.
Sejatinya agak sulit ketika menghilangkan atau mengurangi ketradisian seperti buka puasa bersama dan termasuk nantinya melaksanakan halal bihalal. Bicara tradisi, boleh jadi sangat mahal membutuhkan biaya yang tidak kecil.
Tetapi tindakan atau kegiatan yang sudah mentradisi tetap lazim dilakukan. Inilah salah satu pertimbangan untuk menata pola hidup sederhana, sesuai arahan Presiden Jokowi.
Kebijakan yang diambil ketika melarang para pejabat termasuk ASN untuk tidak melaksanakan buka puasa bersama, apakah bijak sekaligus menjaga konsistensi perlu ditindak lanjuti dengan melarang open house bagi pejabat ketika melaksanakan halal bihalal.
Memang baik buka puasa bersama maupun open house halal bihalal yang selama ini lazim dilakukan oleh pejabat dan ASN dikantor masing-masing, secara kalkulasi ekonomi perlu biaya yang tidak sedikit. Pada satu sisi ada positifnya melarang buka puasa bersama termasuk open house halal bihalal dikaitkan dengan pemborosan, dimana ada kecenderungan patut diduga sumber dana bukan dari pribadi tetap bersumber dari dana dinas.
Fenomena ini bisa berimplikasi pemborosan keuangan negara. Lebih parah lagi kalau tidak teranggarkan dalam perencanaan kegiatan, berpotensi merugikan keuangan negara.
Seandainya larangan buka puasa bersama nantinya juga diberlakukan melarang open house halal bihalal dikalangan pejabat dan ASN akan konsep surat yang dikeluarkan pihak istana betul-betul melibatkan ahli bahasa, paling tidak yang paham tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar tanpa multitafsir, dengan harapan tidak ambigu yang berpotensi menjadi gaduh.
Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, selaku Pengamat Kebijakan Publik.