blank

Oleh Sunardi K.S.

Beberapa saat yang lalu, di saat hari masih agak remang, Sabtu, 25 Maret 2023, ibunya menyetel televisi. Sayup terdengar oleh saya, entah sedang menyetel apa, temanya : Ada Fenomena Kenakalan Anak Di Bawah Umur yang Kian Meresahkan.
“Lho” batin saya. “Bukankah kenakalan anak itu sudah ada sejak jaman bahuela, kenakalan anak itu agaknya setua sejarah manusia di muka bumi ini” Tetapi yang menarik, hal ini dibahas karena, akhir-akhir ini agaknya ada tanda-tanda kian brutalnya anak-anak muda itu. Kian berani, nekat, melawan dan meresahkan. Bahkan meneror.
Meski pun usianya tergolong masih banyak yang ‘imut-imut’ kekanak-kanakan. Fisiknya kadang kalah besar dengan orang-orang tua, kenakalan anak itu tetap terjadi. Karena anak-anak itu melakukan kenakalannya secara bersama-sama. Bersama anak-anak yang nakal lainnya. Ini berarti perilakunya sudah dipengaruhi oleh psikologi massa. Kalau sudah ada yang memulai kenakalan terlebih dahulu, maka yang lainnya akan berani meniru. Kalau tidak meniru, menurut anggapannya, maka ia akan (bisa) dianggap tidak berani, penakut, lalu bisa dianggap ‘tidak berarti’ Bahkan bisa dianggap menghianati kekelompokannya.
Cukup meresahkan, kenakalan-kenakalan anak itu mulai dari balap liar yang kadang memblokir jalan raya. Padahal jalan itu fungsinya untuk digunakan bersama. Demi kepentingan-kepentingan, yang kadang tidak bisa ditunda. Atau kadang tidak ada jalan pilihan yang lain.
Kalau ada orang lain, yang mau lewat, yang semestinya berhak menggunakan jalan raya itu, malah kadang diganggu oleh grombolan balap liar. Bahkan kadang, di saat sedang ada balap liar orang-orang yang mau lewat, seolah-olah diteror. Bahkan diganggu.
Padahal, meski pun tanpa diteror pun masyarakat yang akan lewat, yang akan menggunakan jalan itu, sudah merasa terteror. Sebab kalau sampai tersenggol, atau bahkan menyenggol sendiri, yang dilakukan si pembalap liar tadi, mereka bisa menang-menangan. Lalu, bukan tidak mungkin akan mengeroyok. Kejadian-kejadian semacam itu yang saya tonton dari televisi. Di kota mana saya lupa.
Tergantung Siapa Kumpulannya
Masyarakat di sekitar jalan yang sedang digunakan balap liar itu pun merasa tidak nyaman. Suara-suara sepeda motor yang tidak wajar itu benar-benar meneror. Dan lucunya, pelakunya adalah anak-anak di bawah umur. Keberaniannya muncul karena melakukan kenakalan secara bersama-sama, seusianya.
Yang merepotkan, balap liar itu seringkali diadakan di tengah malam, ketika orang-orang sedang enak-enaknya tidur. Yang tidak kalah repotnya adalah fihak kepolisian. Enak-enaknya istirahat dengan keluarga, perlu bangun mengatasi masalah. Anak-anak di bawah umur yang melakukan balap liar itu akan ditindak dengan tegas, polisi sendiri yang kena sangsi. Sebab pelakunya masih kategori anak-anak. Tidak ditegasi, tetapi membuat resah, kacau. Jadi dilematis. Padahal yang seringkali terjadi pula, di balik acara balap liar itu ada unsur judinya.
Kadang ada pula orang yang penasaran, anak-anak masih di bawah umur itu kok sudah berperilaku brutal ya? Pertanyaan semacam itu kadang bisa penting untuk ditelusuri. Bisa jadi orang yang bertanya begitu karena memiliki anak-anak yang manut, penurut. Dan mustahil apabila sampai berani melakukan hal yang seperti itu.
Itu menandakan bahwa anak-anaknya dari keluarga yang tertib, baik. Dan tentu saja anak-anaknya gemar kumpul dengan anak-anak lain yang baik pula perilakunya. Maka ada yang mengatakan, bahwa kenakalan atau kealiman anak itu ternyata tergantung siapa kumpulannya.
Kian Menggiriskan
Sekarang ini sering terdengar berita-berita melalui televisi-televisi, ada anak di bawah umur yang sudah berani melakukan perampokan dengan senaja tajam. Bahkan kalau tidak berhasil, anak-anak di bawah umur itu sampai berani dan tega melukai kurbannya. Bahkan berani membunuh kurbannya. Yang dimaksud anak-anak di bawah umur dalam perilaku ini yaitu anak-anak seusia anak-anak sekolah SLTA.
Lalu pertanyaannya, kok bisa?
Lho, apa ada sekolahnya?, Atau apakah ada gurunya? Bisa ya. Artinya ada sekolahnya, ada gurunya, dari peristiwa-peristiwa yang pernah ditontonnya, dibacanya, atau didengarkannya. Dan itu terjadi karena cara menerima tontonan, bacaan itu kurang selektif. Tidak dipikir atau direnungkan dengan baik. Tetapi malah ditirunya. Dan tontonan-tontonan itu bisa jadi didapatkan dari sumber-sumber yang tidak resmi. Kalau sekolahan atau guru secara resmi ya tentu saja tidak ada.
Beberapa waktu yang lalu ada berita, anak di bawah umur melakukan pembunuhan dengan disertai mutilasi. Subkhanallah. Lalu ada anak di bawah umur melakukan perkosaan, menjadi geng motor yang ganas. Tawur dengan membawa-bawa senjata tajam. Bahkan ketika polisi membubarkan anak-anak yang akan melakukan tawur, lalu ada anak yang lari masuk rumah, dan polisi mengikutinya, di dalam rumah anak itu didapati ada terpasang clurit di rumahnya. Lho apakah orang tuanya tidak melarang? Apakah kedua orang tuanya tidak pernah menasehati anaknya. Apakah orang tuanya sudah kuwalahan terhadap kenakalan anaknya yang sudah di luar batas kewajaran?
Salah Siapa
Nah, sampai di sini agaknya sudah bisa disimpulkan, bahwa adanya anak-anak nakal itu karena kelengahan orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Untuk mengarahkan anak-anaknya. Untuk mendampingi anak-anaknya. Anak-anak tidak hanya perlu dicukupi harta benda, uang sebanyak-banyaknya, lalu anak-anak sudah cukup merasa bahagia. Dan setelah dirinya merasa bahagia akan menjadi anak-anak yang baik. O, belum tentu. Bukti memberi tanda, bahwa anak-anak yang dimanja uang dan berbagai materi kesenangannya, ternyata tidak menjadi anak yang baik.
Anak yang baik tentu butuh pendampingan orang tua, butuh diarahkan, dididik. Sebab anak-anak itu masih belum lengkap kepribadiannya, yang bisa melengkapi orang tuanya. Pendampingan, pengarahan, pendidikan orang tua, bahkan sejak anak masih kecil. Bahkan sejak anak masih bayi, bahkan sejak anak-anak masih dalam kandungan orang tuanya. Pengetahuan-pengetahuan seperti itu kerap ada di buku-buku dan tulisan-tulisan yang lain. Orang tua sesungguhnya sudah sadar tentang hal itu. Cuma sering mengabaikan.
Kalau hal ini terjadi sesungguhnya, kenakalan anak itu bisa jadi bermula dari orang tua. Bermula dari bapak, atau ibunya. Sebab keluarga adalah sekolahan yang pertama bagi setiap manusia. Sekolahan-sekolahan secara formal sebenarnya tugasnya hanya melanjutkan pelajaran atau menambahi pelajaran yang belum diajarkan orang tua.
Kalau kenakalan anak terjadi, karena kelalaian orang tua, mengapa tidak ada istilah kenakalan bapak. Atau kenakalan ibu? Tetapi mengapa hanya anak yang menanggung predikat sebagai kenakalan anak. Nuwun***

Sunardi K.S. Peminat masalah sosial. Tinggal di Jepara.