Pemberian bantuan uang kepada salah satu kelompok seni, Minggu (5/3). Foto: eko

KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID) –Kepala Desa Karanganyar, Borobudur, menyampaikan bahwa acara pentas kesenian Persada Rimba pada Minggu (5/3/23) merupakan bentuk partisipasi dan swadaya masyarakat. Mereka berkreasi dan berekspresi seni dalam rangka mempertahankan dan melestarikan budaya.

Salah satu anggota Jaringan Seniman Magelang, Sucoro, menghadiri selamatan tasyakuran Sanggar Seni Persada Rimba, Karanganyar Borobudur, Minggu (5/3/23). Acara itu dalam rangkaian HUT ke 21 Ruwat Rawat Borobudur.

Ikut hadir bersama Sucoro yang merupakan penggagas Ruwat Rawat Borobudur, adalah Novita (peneliti BRIN), Dwi Anugerah dari Jaringan Seniman Magelang, Yanto Kepala Desa Karanganyar, serta para penggemar seni tradisi di lingkungan Desa Karanganyar, Borobudur, Magelang.

Kades menambahkan, Desa  Karanganyar sebagai salah satu Desa Budaya di Kecamatan Borobudur. Dengan harapan melalui pentas keseniannya dapat menjadi penyangga pelestaraian nilai seni dan tradisi dalam rangka mewujudkan destinasi pariwisata superperioritas.

Dipaparkan, pada acara G20 lalu desa itu menerima bantuan keuangan dari Pemerintah sebesar Rp 70 juta untuk kegiatan budaya G20. Uang tersebut, kata dia, telah digunakan sebagaimana mestinya.

“Namun demikian ternyata benar yang yang sering dikatakan Pak Coro bahwa uang belum tentu dapat menumbuhkan kecintaan. Seperti yang dialami oleh kelompok kesenian Persada Rimba, dalam lima bulan ini mengalami penurunan minat. Itu terjadi setelah adanya event -event besar yang diselenggarakan di Borobudur,” katanya.

Penurunan minat, hingga ditinggalkan para penarinya tersebut terjadi karena mereka memilih bekerja daripada menjadi penari Topeng Ireng. Itu karena honor yang diterima sebagai penari memang tergolong minim. Akhirnya mereka memilih bekerja lainnya.

“Sementara itu bantuan-bantuan, pembinaan dari Pemerintah sifatnya temporer,” imbuhnya.

Peneliti BRIN, Novita, mengapresiasi nguri-uri kabudayan yang dilakukan anak-anak dan remaja yang tergabung dalam Masyarakat Cinta Budaya Karanganyar. Pentas kesenian tidak hanya sebagai hiburan maupun tontonan, tetapi juga tuntunan. Pada pentas kesenian itu menyajikan wirogo, wirupo, wiroso, wiromo yang semuanya memerlukan kekompakan, kesatuan dan keselarasan pada gerak maupun irama.

“Pentas kesenian Topeng Ireng menyimbolkan keberanian dan semangat yang dapat menjadi tuntunan bagi penonton,” katanya.

Dwi Anugerah, salah satu penari dan pecinta seni dari Jaringan Seniman Magelang mengingatkan pentingnya rasa suka dan cinta terhadap pekerjaan. Dalam hal ini menari sebagai minat yang digemari. Tekun dan rajin berlatih sehingga memperoleh hasil yang berkualitas, bagus dan kompak.

“Jangan pernah berpikir bayaran tetapi cari nama dan penggemar,” tuturnya.

Dengan demikian Persada Rimba akan banyak digemari, ditonton dan diundang untuk pentas di berbagai tempat. Kondisi kelompok kesenian di daerah tujuan wisata memang berbeda dengan Kelompok kesenian di lereng pegunungan yang umumnya mereka bekerja sebagai Petani. Mereka menari untuk memenuhi panggilan jiwanya atau hoby, sehingga mereka pun tidak terlalu melihat berapa uang yang didapat.

“Oleh karenanya membuat jaringan seniman seperti yang dilakukan oleh Pak Coro melalui Ruwat Rawat Borobudur merupakan langkah tepat untuk menyinergikan dan saling menguatkan di antara para penggemar seni tradisi. Terlebih dihubungkan dengan warisan budaya Borobudur sebagai titik kebesaran budaya yang dimiliki bangsa Indonesia,” katanya.

Pada kesempatan tersebut pengurus Jaringan Seniman Magelang menyerahkan bantuan uang untuk meringankan kebutuhan panitia. Kesuksesan dan keberhasilan pentas kesenian Persada Rimba di Balkondes Karanganyar itu tidak terlepas dari peran dan usaha dari Sucoro penggagas Ruwat Rawat Borobudur. Sucoro yang berusaha memediasi dan menyinergikan antara kelompok kesenian Persada Rimba dan Jaringan Seniman Magelang.

Sanggar Seni Persada Rimba didirikan oleh Gimun dan anaknya Budiman pada masa pandemi. Mereka tergerak mengajak anak-anak untuk bermain di sekitar rumahnya di kala pandemi. Mereka mengajak anak-anak tersebut untuk nguri-uri kabudayan melalui kesenian. Mereka menjadikan rumah tinggalnya sebagai tempat berlatih tari Topeng Ireng.

Adapun yang mengajar menari adalah Budiman dan temannya yang memang punya hobi dan minat di bidang seni. Gimun adalah seorang perakit sound system berusaha membeli sound system dan alat-alat musik kesenian melalui tabungannya untuk kelengkapan pentas kesenian.

Eko Priyono