blank
Lestari Moedijat saat membuka diskusi daring, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/2/2023). Diskusi ini mengambil tema 'Mengapa RUU PPRT Tak Kunjung Menjadi UU?'. Foto: lmc

SEMARANG (SUARABARU.ID)- Bangsa Indonesia tidak lagi menjadi bangsa yang mampu menjujung tinggi harkat dan martabat manusia, bila membiarkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), tidak menjadi undang-undang.

”Tidak ada lagi alasan mendasar untuk menunda pembahasan RUU PPRT, selain segera melanjutkan dan mengesahkannya menjadi undang-undang. Saat ini, kita seperti menutup mata terhadap kekerasan yang terjadi terhadap pekerja rumah tangga,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertema ‘Mengapa RUU PPRT Tak Kunjung Menjadi UU?’, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/2/2023).

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri SH LLM (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Willy Aditya SFil MT (Ketua Panja RUU PPRT-DPR RI), Dr dr Brian Sriprahastuti MPH (Tenaga Ahli Utama, Kantor Staf Presiden RI), Dr Atnike Nova Sigiro MSc (Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia/Komnas HAM) dan Damairia Pakpahan SSos MPhil (Ketua Komunitas Pemberi Kerja) sebagai narasumber.

BACA JUGA: Akses Jalan di Jatiroto dan Purwantoro Wonogiri Terputus

Selain itu, hadir pula Ari Ujianto (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga/Jala PRT) sebagai penanggap.

Sepanjang 2017-2022, menurut Lestari, Jala PRT mencatat setidaknya ada 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT, seperti kekerasan ekonomi (tidak digaji), kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual.

Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, dalam konteks permasalahan yang dihadapi para PRT, seharusnya terdapat ikatan kesetaraan yang meniadakan dominasi sosial, antara pemberi dan penerima kerja.

BACA JUGA: Pengurus Yayasan RSI Sultan Hadirin Jepara Terbentuk, Edy Sujatmiko Ketua

Selain hak dan kewajiban itu, tambah Rerie yang juga anggota DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, terdapat kebutuhan yang paling mendasar, yakni saling melindungi antara pemberi kerja dan PRT, sesuai yang diamanatkan konstitusi.

Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu menilai, ditunda-tundanya pembahasan RUU PPRT oleh pimpinan DPR, merupakan keprihatinan bersama sekaligus tamparan bagi semua, bahwa perjuangan selama 19 tahun belum bisa terwujud hingga saat ini.

Ketua Panja RUU PPRT-DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan, problem krusial yang dihadapi dalam proses pembahasan RUU PPRT saat ini, berada pada pimpinan DPR.

BACA JUGA: Hujan Deras Guyur Kudus, Tanggul Sungai Piji Jebol Ratusan Rumah Tergenang

Respon Ketua DPR RI yang menyebutkan, RUU PPRT itu masih memerlukan kajian secara socio cultural, menurut Willy, merupakan tanggapan yang tidak tepat, karena di dalam RUU PPRT itu sudah mencakup pengaturan aspek socio cultural. ”Saya kira ini karena pimpinan belum membaca isi RUU PPRT,” ujarnya.

Willy mengaku, sudah tiga kali meminta audiensi kepada Ketua DPR RI untuk menjelaskan sejumlah substansi dalam RUU PPRT itu, tetapi hingga saat ini permintaan itu tidak ditanggapi.

Salah satu upaya untuk mendorong agar pimpinan DPR segera mengagendakan Sidang Paripurna untuk mengesahkan RUU PPRT menjadi usulan inisiatif DPR, disampaikan Willy, bisa melalui dugaan pelanggaran tata tertib DPR, yang dilakukan Ketua DPR.

BACA JUGA: Waduk Gajahmungkur Dibuka, Puluhan Rumah Warga Wonogiri Kebanjiran

Diungkapkan dia, Ketua DPR bisa diajukan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), karena melanggar tata tertib DPR, lewat dugaan pengabaian hasil kajian alat kelengkapan dewan.

Sedangkan Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menegaskan, pihaknya turut mendukung percepatan pembahasan RUU PPRT.

Dalam upaya itu, jelasnya, Komnas HAM juga bersama institusi lain, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan, karena pada profesi PRT banyak melibatkan perempuan dan anak.

BACA JUGA: Bawaslu Kota Tegal Launching Aplikasi Jarimu Awasi Pemliu

Kelompok perempuan dan anak, menurut dia, seringkali mengalami beragam eksploitasi dan kekerasan, serta ketidakadilan dalam menjalankan profesi sebagai PRT. Aspek perlindungan dari berbagai ancaman itu, merupakan salah satu tugas dari Komnas HAM.

Sementara itu, Ketua Komunitas Pemberi Kerja, Damairia Pakpahan menilai, isi RUU PPRT sebenarnya lunak. Sehingga tidak perlu terjadi upaya penundaan dalam proses pembahasannya.

Disampaikan Damairia, hadirnya UU PPRT memberi kejelasan aturan bagi pemberi kerja dan PRT, terkait hak dan kewajibannya masing-masing.

Dia menegaskan, informasi terkait kemampuan PRT, jam kerja, kualitas kerja, dan perjanjian kerja, harus jelas. Sehingga hak dan kewajiban kedua belah pihak dapat dijalankan dengan baik.

Riyan