KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID) –Anggota Komisi VII DPR RI, H Abdul Kadir Karding, minta warga Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, dalam melakukan aksi penolakan terhadap penambangan liar pasir dan batu Gunung Merapi tidak menggunakan kekerasan. “Jangan anarkis, yang penting penambangannya berhenti dulu dan mencari solusi,” pintanya.
Anggota DPR yang membidangi
energi sumber daya mineral tersebut mengatakan hal itu dalam acara silaturahmi dengan ulama dan pengurus NU Kecamatan Srumbung di gedung pertemuan MWC NU Srumbung, Kamis (9/2/23) malam. Dalam acara itu juga dihadiri sejumlah kepala desa, termasuk ada lembaga bantuan hukum NU.
Dia beberapa kali menekankan bahwa penolakan warga terhadap penambangan liar jangan sampai anarkis, tidak dengan kekerasan. Menurutnya harus punya cara sendiri dengan kearifan lokal orang Srumbung, Kabupaten Magelang.
Apalagi karena sudah membawa bendera 17 kepala desa dan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), diminta jangan dengan kekerasan. Wilayah Srumbung itu sudah ditambang sejak setelah erupsi Merapi tahun 2010. “Mari kita atur taktik dan strategi supaya energi tidak terlalu besar tetapi dampaknya besar. Jangan anarkis, kalau ada yang disusupi dan onar, jadi tidak berhasil perjuangannya,” tuturnya.
Sampai kapan pun, lanjutnya, targetnya penambangan liar harus ditutup. Kalau bisa secepatnya. “Saya akan cek, apakah ESDM memiliki kewenangan memasang police line di penambangan liar,” tandasnya.
Ditambahkan, strateginya yang canggih. Tidak boleh sekadar unjuk rasa dan istighosah. Disarankan menggunakan strategi dan melibatkan banyak pihak. “Yang penting solid. Maka butuh pengorganisasian yang bagus,” harapnya.
Dalam kesempatan itu
dia memutar rekaman video saat rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, beberapa hari lalu. Membuktikan bahwa dia sudah menyampaikan informasi tentang kerusakan alam di wilayah Srumbung. “Akhirnya menjadi kesimpulan rapat bahwa Kementerian ESDM akan membentuk tim dan akan turun ke Srumbung,” katanya.
Marak Penambangan
Kades Ngablak, Srumbung, Amri Subhantoro, dalam acara itu mengatakan, di desa itu memang marak penambangan. Karena potensi pasir dan eksotis alamnya masih bagus. Sejak 1990 di Desa Jurangjero ditambang secara ugal-ugalan. Sejak 2010 di Sungai Bebeng juga sangat frontal.
Akhirnya Desa Ngablak berada di antara Kali Putih dan Kali Bebeng yang semula belum terjamah tambang.
Dikisahkan pula, tahun 1961 di Desa Ngablak ada 12 dusun. Terjadi erupsi yang luar biasa dan menghanyutkan lima dusun di desa itu. Mandeknya lahar erupsi di kawasan Dusun Genting.
Dengan adanya gunung pasir di sana, saat ini menjadi benteng pertahanan warga setempat. “Sejak 1961 sampai sekarang aman dari erupsi,” katanya.
Di sisi lain, kondisi riil saat ini wilayah itu di bawah Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Tetapi, menurut dia, kenapa TNGM tutup mata, tidak mengingatkan penambangan di sana. Padahal warga setempat yang memotong sebatang kayu sengon saja dihukum satu tahun penjara. “Mereka yang membabi buta merusak ekosistem yang ada di wilayah kami dibiarkan melenggang,” tuturnya.
Dia mengaku sudah berkirim surat ke berbagai pihak. Tetapi tidak ada tanggapan. Menurut dia sebaiknya penambangan dizonasikan. Saat ini yang terjadi, penambangannya secara masif.
Diakui, warga setempat cukup banyak yang menambang secara tradisional. Tetapi terdesak oleh penambang liar yang menggunakan peralatan modern. “Mereka semakin kaya, warga kami semakin miskin,” keluhnya.
Disebutkan, dengan adanya penambangan liar, harga pasir Rp 200-250 ribu sudah mendapat 14 meter kubik (M2). Sementara penambang manual 8 M2 seharga Rp 600 ribu. Akibatnya penambang manual sudah satu sampai dua bulan terakhir ini menganggur.
Dikatakan juga, semua jalan di Kecamatan Srumbung rusak. Dia di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang sewaktu-waktu tetap ada erupsi Merapi. “Kalau jalannya rusak, apakah bisa untuk lari cepat,” katanya.
Untuk akses tambang juga perlu diatur. Sekarang jalan tikus saja jadi jalan tambang. Itu yang menjadi keprihatinan masyarakat.
Eko Priyono