blank
Ilustrasi. Foto: gerd altmann/pixabay

Oleh: Amir Machmud NS

blankTAHUN politik. “Sesakral” itukah media memberi tempat kepada perhelatan kontestasi politik ini sebagai kondisi yang “menyeramkan”?

Terdapat atmosfer khusus, itu pasti. Berlangsung suasana istimewa, itu dapat diperkirakan. Terjadi kondisi-kondisi sensitif, itu tak dapat dihindari.

Ketika media menyuarakan ajakan berkontestasi dengan kegembiraan, mengimbau media tampil dengan kejernihan pemberitaan, dan menyampaikan informasi-informasi secara bening; bukankah artinya potensi-potensi “ketidakgembiraan” dan “kekeruhan” bisa menjadi keniscayaan sebagai pembalikan keadaan dari yang kita harapkan?

Dalam positioning, wartawan dan media berada dalam ruang yang idealnya berkontribusi menenteramkan, bisa pula sebaliknya turut menyuburkan kegaduhan.

Ruang digital yang sudah keruh bisa bertambah “rusuh” ketika pertikaian-pertikaian (perebutan ruang) opini politik dengan segala varian pertarungan tak tersaring menjadi sajian masif media.

Cerdas dan Waras
Menjelang kontestasi 2024, suasana itu sudah terasa. Tanda-tanda titik didih yang mengulminasi seperti pada Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur DKI 2017, dan Pemilihan Presiden 2019 bisa kita tandai lewat aneka isu dan pola-pola pemberitaan media.

Penyuburan keadaan juga “dikontribusikan” oleh konten dan tampilan berbagai platform media sosial.

Apabila wartawan tidak cerdas, dan media bersikap “tidak waras”, bukan mustahil titik didih itu akan terus membakar, membakar, dan menyalakan “api”.

“Bara” itu bisa berwujud polarisasi, mengeramkan luka konflik dan dendam berkepanjangan, serta menciptakan kondisi kontraproduktif dalam merawat keberagaman dalam sunnatullah kebinekaan.

Bukankah sejatinya keberagaman merupakan realitas hidup yang “dari sononya” memang sudah menjadi bagian dari “darah dalam nadi” dan “napas” keindonesiaan?

Tidak ada alasan untuk membelah dan mencacahnya atas nama apa pun, termasuk yang mengalir dari syahwat politik sekelompok elite. Kita sudah selesai dalam urusan ras, agama, suku, dan antargolongan (SARA), dan janganlah itu diulik lagi.

Lantaran pemahaman itukah maka “zona erotis” bangsa tersebut selalu diusik sebagai modal sexy dalam kontestasi politik?

Lantaran “keerotikan” itu pulakah maka media menjadikannya kapital untuk memenuhi hasrat ideologi viralitas? Menampilkannya sebagai sajian yang berpotensi membuat penasaran, merangsang kepo, lalu menangguk akumulasi pengunjung dalam potensi algoritma google?

Lantaran sikap “welcome” media untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran etika jurnalistik itukah maka potensi jiwa buzzer menyeruak memanfaatkan ruang-ruang yang dibuka, lalu menampilkan apa pun konten tanpa memedulikan risiko luka kebangsaan, luka keberagaman?

Hanya dengan kemauan untuk bermuhasabah, maka para praktisi media bisa merasakan dan menemukan mengapa dan bagaimana “kecerdasan” dan “kewarasan” itu kita temukan.

Pelanggaran yang dilakukan media adalah bentuk ketidakwarasan ketika mereka membuka dan memberi ruang. Pelanggaran yang dibuat wartawan adalah ketidakcerdasan dalam mengalkulasi konsekuensi.

Menilai, Mempertimbangkan
Pikiran dan langkah yang tak terbayangkan bisa dilakukan sekarang: maukah kita menilai? Maukah kita mempertimbangkan? Mampukah kita menilai? Mampukah kita mempertimbangkan?

Pikiran “menilai” merupakan kecerdasan untuk membaca dan memetakan kondisi: apa yang sedang terjadi? Ke mana arahnya? Apakah media harus masuk dan ikut larut kondisi-kondisi itu? Menyuburkannya? Atau menjadi bagian dari faktor yang berkomitmen mengingatkan, mengoreksi, dan mengedukasi?

Pilihan “melangkah” akan menjadi model yang bisa dirasakan tentang tingkat kewarasan dalam bermedia. Hanya berpikir dengan ideologi viralitas bisa dibayangkan akan mendorong media memilih jalan yang tidak memedulikan sikap-sikap penegasan fungsi pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik.

Menyuarakan sikap ini, pada sebagian sisi, boleh jadi hanya akan menjadi bahan tertawaan, karena bukankah mengelola media bertujuan untuk memperoleh pendapatan?

Akan tetapi, tidak menyuarakan adalah sama artinya dengan membiarkan ketidakterkendalian pelanggaran etika bermedia, terutama dalam aspek-aspek berkonten SARA.

Hari Pers Nasional (HPN) 2023 yang bermomentum menuju Tahun Politik 2024 ini merupakan ruang kontemplasi yang tepat untuk saling mengingatkan.

Sikap cerdas dan pilihan waras, bagaimanapun adalah jalan. Bukankah kewartawanan dan kemediaan adalah pilihan sadar tentang jalan kemaslahatan?

Pemberi cahaya, seperti narasi indah Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, “Berikan sinar, dan orang-orang akan menemukan jalannya sendiri…”

Amir Machmud NS; pengajar Jurnalistik Prodi Ilmu Komunikasi Fiskom UKSW, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah