Catatan: Hendry Ch Bangun
MEJUAH-JUAH. Horas. Selamat datang di Medan wartawan-wartawan dari pelosok Tanah Air, untuk merayakan Hari Pers Nasional 2023, yang dipusatkan di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara ini.
Bukan hanya perkiraan sekitar 1.000-an wartawan Indonesia yang datang, puluhan juru warta dari negeri jiran Malaysia, sudah menyatakan akan datang dan menghadiri acara ini. Presiden RI, Joko Widodo pun, sudah menyatakan kehadirannya di puncak acara pada tanggal 9 Februari 2023.
Tahun lalu di Kendari, Sulawesi Tenggara, karena sedang dalam waspada covid-19, Presiden RI hanya dapat menyapa melalui teleconference. Tidak bertatap muka seperti saat di Banjarmasin tahun 2021.
Pada tahun sebelumnya, dalam peringatan di Jakarta, karena ada pembatasan khalayak, hanya sejumlah orang yang hadir di Istana Negara Jakarta bersama Presiden. Selebihnya hadir di Jaya Ancol.
Ya, inilah untuk pertama kalinya setelah HPN tahun 2019 di Surabaya, Hari Pers Nasional dilakukan dengan kapasitas penuh dan tatap muka. Tentu saja kita harapkan HPN yang sejatinya menjadi ajang silaturahmi, dan diangkatnya isu-isu penting pers dan berbagai sektor pembangunan Nasional serta yang terkait dengan lokal, dibahas.
Di sini pula para wartawan yang selama ini mungkin jarang bertemu langsung, dapat bercengkerama, mendapat pengetahuan dari narasumber ngetop dari berbagai seminar yang disajikan. Berbagi pengalaman melakukan kerja jurnalistik di daerah masing-masing, untuk dibawa pulang ke rumah.
HPN menjadi satu-satunya ajang silaturahmi Nasional terbesar para wartawan. Pimpinan media besar selalu mengusahakan diri untuk datang, karena mereka akan bertemu pula dengan tokoh dari berbagai bidang, politik, hukum, budaya, para pemimpin daerah, sesama wartawan, termasuk juga pengusaha besar yang sering hanya didengar namanya atau dilihat wajahnya di televisi.
Banyak peristiwa menarik untuk ditulis atau diabadikan kamera, yang tentu saja mengusik insting kewartawanan.
Jadi aneh bin ajaib, kalau ada segelintir orang yang menganggap HPN hanya merayakan ulang tahun PWI belaka. Karena sejak Konvensi Nasional, selalu membahas topik penting yang bermanfaat bagi pers maupun kewartawanan.
Aneh pula kalau menganggap puncak HPN pada tanggal 9 Februari, kalah penting dari peristiwa jurnalistik lainnya di luar negeri atau di dalam negeri.
Kongres wartawan yang melahirkan PWI pada 9 Februari, adalah momen berkumpulnya 180 wartawan dari berbagai daerah di Indonesia, membentuk organisasi untuk menentang upaya Belanda kembali menjajah Republik Indonesia, yang diproklamirkan 17 Agustus 1945.
”Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa, serta selalu mengingat akan Persatuan dan Kedaulatan Negara,” begitu ditulis Harian Merdeka terbitan 12 Februari 1946, tentang sikap wartawan peserta Kongres di Solo itu.
Kalau dilihat dari kacamata sekarang, pernyataan ini barangkali sekadar pemanis mulut. Tetapi marilah bayangkan suasana waktu itu: Ibukota Indonesia, Jakarta, diduduki kembali Belanda, dan sisa wilayah hanya Yogyakarta dan Solo/
Media pro Republik Indonesia terus diganggu, gerak-gerik wartawannya dibatasi dengan blokade, ribuan tentara bergerak ke berbagi penjuru, untuk mematikan perlawanan tentara dan laskar rakyat.
Sungguh heroik wartawan pendiri PWI, yang terus meliput perang dan mampu menembus blokade untuk hadir di Kongres Solo. Nyawa taruhannya, dan tidak sedikit yang mati syahid. Anda masih ragu HPN itu 9 Februari?
* * * * *
Wartawan yang hadir di Medan, pastilah beruntung bisa hadir di HPN. Isi kepalanya akan penuh dengan hal-hal baru, tentang apa saja yang dijadikan bahan seminar pada tanggal 7 dan 8 Februari.
Bertemu pula dia dengan kawan lama, dan mendapat kawan baru. Tetapi bagaimana dengan tuan rumah?
Saya membaca dari berita di media, Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi berujar, agar HPN yang menghabiskan dana sekitar Rp 10 miliar dari APBD Sumut ini, memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi daerah itu. Dalam sejarah pelaksanaannya, tidak pernah ada tuan rumah HPN yang rugi, bahkan beruntung banyak.
Dari sisi akomodasi saja, kalau dihitung yang hadir 1.000an dan menginap selama tiga hari, dapat dikalkulasi biaya yang dikeluarkan untuk penginapan dan makan.
Hitung lagi pengeluaran tamu untuk membeli suvenir dan oleh-oleh khas Medan, makan siang dan minum kopi pada siang atau malam. Kemudian transportasi lokal selama tiga hari, dan seterusnya.
Perputaran ekonomi terkait HPN pasti di atas Rp 10 miliar, ditambah lagi ada tour satu malam ke Danau Toba, pada tanggal 10 Februari, bagi peserta yang belum pulang.
Agar diingat juga, kehadiran pejabat tinggi dan pengusaha besar, dan tamu luar negeri, juga membuat yang datang bukan kelas backpacker, tetapi mereka yang dapat menghabiskan uang untuk transportasi, hidangan, dan akomodasi yang mahal.
Tetapi lebih dari itu, tentu saja Edy Rahmayadi ingin Sumatera Utara mendapatkan keuntungan lain, seperti HPN sebelumnya.
Ketika HPN dilaksanakan di Bengkulu, hadiah yang diperoleh provinsi itu adalah maskapai Garuda terbang ke sana untuk pertama kalinya, dan terus melayaninya sampai saat ini, berkat lobi Pengurus PWI Pusat ke Manajemen Garuda. Lampu yang kini menerangi jalan di Pantai Panjang, adalah hasil dari HPN di Bengkulu.
Ketika HPN diselenggarakan di Ambon, Kementerian Perhubungan memberi hibah bus Damri dan kapal nelayan. Menteri ESDM memberi ribuan bola lampu listrik ke masyarakat Maluku.
Ketika HPN diadakan di Kupang, menteri-menteri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memberikan ratusan traktor, mesin jahit, dll, kepada warga NTT. Rupiah yang diperoleh jauh lebih besar dari yang dikeluarkan.
Keadaan berubah begitu pula dengan kebutuhan provinsi penyelanggara. Terkait inilah, maka biasanya komunikasi antara PWI Pusat, tuan rumah HPN, dan pemerintah pusat dilakukan jauh sebelum pelaksanaan HPN.
Tidak hanya untuk proyek yang bersifat fisikal, tetapi juga dukungan bagi kegiatan seperti pemberdayaan UMKM, peningkatan pariwisata, pemeliharaan lingkungan, dan peningkatan kualitas pendidikan.
Dulu waktu HPN diadakan di Palembang tahun 2010, selama Pameran HPN, rumah produksi Cek & Ricek membuka rekruitmen bagi remaja yang ingin menjadi presenter televisi, yang sangat diminati kaum muda setempat.
Acara seperti ini membuat HPN tidak hanya didominasi orang tua dan bersifat serius, tetapi melibatkan kalangan muda dan aktual.
* * * * *
Sisi lain dari Medan juga banyak, bagi mereka yang datang untuk HPN ini. Makanannya enak-enak, apapun ada, selain makanan internasional ada makanan Melayu, Padang, India, Cina, Mandailing, Jawa, bahkan BPK, sehingga kalaupun Anda menginap selama seminggu, belum semuanya bisa dicicipi.
Kedai kopinya tak terhitung, yang pasti ada kopi gayo, mandailing, batak, yang sudah terkenal sampai ke ujung dunia. Yang tak boleh dilupakan tentu makan durian, yang buka 24 jam, dan berapapun Anda minta, tidak pernah habis stoknya.
Anda ingin menghirup udara dingin, dalam waktu tempuh sekitar satu jam setengah, Anda sudah bisa ke Sibolangit atau Bandar Baru, atau ke Bukit Lawang.
Di Medan sendiri banyak spot menarik, seperti Masjid Raya, Istana Maimoon, rumah Tjong A Fie, dan kawasan kota tua, yang membuat kita membayangkan bagaimana Medan sebagai kota bisnis di zaman kolonial dengan bangunan yang eksotik.
Jadi memanfaatkan keberadaan di Medan, selain dapat pengetahuan dan silaturahmi, bisa juga dijadikan tempat healing, kata anak muda sekarang. Sehingga ketika kembali ke rumah nanti, banyak oleh-oleh yang dibawa pulang.
Selamat Hari Pers Nasional 2023.
— Hendry Ch Bangun, Wakil Ketua Dewan Pers —