Kemudian, selain makan makanan vegetarian, tradisi lain sebelum melakukan sembahyang yakni keramas dan rambut diberikan wewangian. Wewangian yang dimaksud bukanlah bahan pabrikan, tapi rempah-rempah yang dibakar.
“Ada tradisi mencuci arang untuk membakar dupa, ada juga pada tengah hari, malam akan sembahyang harus menyantap mie dulu,” Mak Mbu, salah satu penutur.
Acara tersebut dilaksanakan pada pukul 19.15 WIB. Selama kurang lebih dua jam, para tamu undangan tidak ada yang meninggalkan lokasi tersebut.
Mereka justru menikmati cerita para penutur sambil makan aneka snack yang dihidangkan oleh panitia seperti arem-arem, pisang sale, kolak pisang, kacang rebus, dan aneka jenis makanan lainnya.
Khazanah Budaya
Para penutur berharap cerita yang mereka sampaikan itu menjadi perbendaharaan khazanah budaya.
Mereka juga berharap umat Konghucu semakin bertambah dan berkembang lebih banyak lagi. Hal ini karena pasca-Orde Lama atau masa Orde Baru, banyak umat Konghucu yang akhirnya berpindah keyakinan untuk keselamatan mereka tinggal di Indonesia.
Sementara itu kaum millenial dari berbagai organisasi yang hadir dalam kegiatan ini mengucapkan terima kasih kepada para penutur.
“Jadi kita mendapatkan banyak wawasan baru dari umat Konghucu di Klenteng Hok An Bio ini. Berbagai ilmu pengetahuan bisa saya dapatkan dan mengajarkan bagaimana toleransi yang sebenarnya,” ungkap Umar, dari Gusdurian.
Usai sarasehan, para umat melaksanakan kegiatan sembahyang King Thi Kong di Klenteng Hok An Bio yang berlokasi Jalan Suhada Purwodadi ini.
Tya Wiedya