blank
Erik ten Hag. Foto: facebook

blankOleh: Amir Machmud NS

// telah kembalikah mereka ke habitat/ mengingat lagi cara meraih tradisi/ merajut budaya kejayaan/ di ‘maqam’ yang seharusnya//
(Sajak “Setan Merah”, 2023)

BEGITULAH ketika sebuah tim sedang dalam kondisi nyaman bermain. Apa saja terasa enak untuk menjadi elemen pemenangan.

Begitulah ketika atmosfer hati Manchester United sedang “klik” dengan ekosistem suasananya.

Begitulah ketika Erik ten Hag, sang peracik taktik sedang “klop” dengan kebutuhan telepatis pemain dan timnya.

Begitu pulalah ketika para pemain yang sebelum ini kehilangan sentuhan magi, menemukan kembali “nyawa” dan jatidirinya.

Yang tampak adalah sekumpulan pemain dengan karakter, positioning yang pantas dalam konstelasi liga, dan tradisi yang selama ini memayungi.

Tak muluk-muluk, karena sadar tentang ketersendatan performa di awal musim, Ten Hag hanya bicara target tiket Liga Champions. Dia paham, peta menuju trofi musim ini masih menjadi perburuan Manchester City, Liverpool, dan Arsenal.

MU hanya dia targetkan berebut zona Liga Champions dengan Tottenham Hotspur, dan Newcastle United yang sedang up trend di bawah kesegaran baru finansial.

Ten Hag-kah Orangnya?
Sejauh ini saya masih menghitung-hitung kans MU dengan membandingkan: Erik ten Hag-kah figur yang akhirnya mampu membangkitkan kembali The Red Devils dari keterpurukan ke “maqam” mediokritas?

Awalnya sempat muncul skeptisitas, jangan-jangan reputasi pelatih asal Belanda itu akan masuk dalam deret kegagalan David Moyes, Ryan Giggs, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solskjaer, dan Ralf Rangnick setelah Alex Ferguson mengakhiri masa emas dan pensiun pada 2013.

Rupanya, dia hadir sebagai Sang Pencerah untuk Manchester Merah.

Di antara sederet pelatih penerus Alex Ferguson, sejauh ini belum ada yang mampu menyentuh secara pas wilayah tradisi dan budaya prestasi Pasukan Old Trafford.

Awal kepemimpinan Ten Hag diwarnai situasi penuh drama di Carrington, markas latihan. Ruang ganti MU juga lekat dengan suasana konfliktif. Cristiano Ronaldo, yang pernah menjadi ikon kejayaan Old Trafford, lebih banyak menyulut masalah dalam relasi dengan pelatih, tim, dan fans.

Realitas pertambahan usia, yang sudah 37, tak dapat ditampik telah mengurangi kebugaran dan reaksi teknisnya. Masalahnya, pemilik lima trofi Ballon d’Or itu enggan menjadi cadangan. Sementara Ten Hag — dan sebelumnya Ralf Rangnick — banyak memosisikannya bukan di starting eleven.

Konflik-konflik yang disuburkan oleh “perang kembang” di media, dan analisis para pandit, menimbulkan suasana kontraproduktif dalam fokus penyiapan tim. Namun pada akhirnya, MU tetaplah lebih besar dibandingkan dengan pemain berkategori bintang yang mana pun. Ending-nya: kontrak Ronaldo tidak diperpanjang, dan dia memilih hijrah ke Al Nassr di Arab Saudi dengan gaji selangit.

Perlahan tapi Pasti
Perlahan tapi pasti, Ten Hag menemukan formula stabilisasi dan meningkatkan performa tim.

Antony, pemain asal Brazil yang pernah disebut-sebut sebagai The Next Ronaldo, mulai membuktikan diri sebagai elemen kekuatan serangan MU.

Marcus Rashford menjadi sosok penting ketika Anthony Martial belum juga menemukan performa terbaik. Pandit BBC, Roy Keane yang dikenal nyinyir pun menebar pujian kepada Rashford, “dia sudah seperti yang diekspektasikan”. Si nomor 10 itu fungsional membongkar pertahanan lawan. Gol-gol dan assist-nya menjadi sama-sama penting.

Di barisan penyerang, Ten Hag memperkuat stok rotasinya dengan keberadaan Alejandro Garnacho, salah satu wonderkid Argentina. Dia juga masih punya sayap potensial Jadon Sancho yang sedang mengalami penurunan performa.

Kehadiran Casemiro makin terasa sebagai elemen gelandang terpenting untuk bahu membahu dengan Bruno Fernandes dan Christian Eriksen. Eks Real Madrid itu siap bermobilitas di semua tempat dalam transisi permainan. Dia bisa mencetak gol, juga menjadi pelapis kokoh pertahanan yang sekarang mengandalkan Lisandro Martinez.

Benar rupanya kata Ten Hag, selama beberapa tahun belakangan, manajemen Setan Merah melakukan aktivitas transfer yang berkelas medioker, yang menyebabkan gagal membangkitkan tim ke tradisi kejayaan di masa lalu.

Dalam wawancara dengan Voetball International, seperti dilansir detik.com, Ten Hag menyatakan, pada musim lalu MU tidak benar-benar disegani. Dia melihat tidak ada semangat dan dinamika tim di skuad.

Ketangguhan mental, menurut dia, sangat rendah. “Saya melihat sebagai pihak luar, dan mengetahuinya di pekan-pekan awal bekerja di klub. Saya melihat budaya klub. Bagaimana dulu MU menjadi hebat?” kata pelatih 52 tahun itu.

Maka seperti apa mentalitas kebangkitan dibangun oleh Erik ten Hag?

Selain posisi papan atas klasemen Liga Primer, saat ini Fernandes dkk masih bertahan di Piala FA, di playoff Liga Europa, dan baru saja memastikan lolos ke semifinal Piala Liga setelah menundukkan Charlton Athletic 3-0.

Tampaknya, Pasukan Theatre of Dream mulai “mampu mengingat kemnali” cara untuk kembali ke jalan tradisi kemenangan…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepakbola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah