Oleh: Amir Machmud NS
// seringkas itu namanya/ sepanjang itu dia rentangkan sejarah/ seagung itu dia mahkotakan sepak bola//
(Sajak “Pele”, 2022)
EDSON Arantes do Nascimento. Sepanjang itu namanya, dan kita lebih akrab dengan sebutan ringkasnya: Pele.
Legenda terbesar sepak bola Brazil itu, pada Jumat dinihari WIB (30/12) pergi selamanya dalam usia 82. Dia menyusul sahabat sekaligus rival abadinya, Diego Maradona yang sudah mendahului dua tahun silam. Kepergian pemilik jersey 10 Selecao itu hampir bertepatan dengan saat Lionel Messi “mentas” meraih Piala Dunia, trofi yang Pele dan Maradona telah membendaharakannya.
Pele tiga kali (1958, 1962, 1970) meraih Piala Dunia, yang pasti sulit disamai oleh pemain mana pun. Dunia selalu membandingkan, siapa lebih hebat: dia, atau Maradona? Sama seperti ketika dalam satu dekade terakhir diperdebatkan, siapa lebih pantas menyandang predikat Greatest of All Times (GOAT): Leo Messi, atau Cristiano Ronaldo?
Pele identik dengan nomor 10. Dialah yang mempulerkan sakralitas jersey 10 sebagai angka yang tak sembarang bintang layak mengenakan. Dalam sejarah sepak bola, Pele, Maradona, dan Messi adalah si nomor 10 sejati. Sebelumnya tercatat Denis Law, Michael Platini, Zico, Maradona, Roberto Baggio, Francesco Totti, Zinedine Zidane, dan Ronaldinho.
Simaklah pesan Neymar Junior di akun instagramnya, seperti dikutip cnnindonesia.com, “Sebelum Pele, ‘10’ hanyalah angka. Saya membaca ungkapan itu di suatu tempat, di beberapa momen dalam hidup saya. Tapi kalimat itu, indah, meski tidak lengkap. Saya akan mengatakan bahwa sebelum Pele, sepak bola hanyalah olahraga. Pele mengubah segalanya. Dia mengubah sepak bola menjadi seni, menjadi hiburan”.
Tulisnya pula, ”Itu memberi pesan kepada orang miskin, orang kulit hitam dan segalanya. Ini memberi visibilitas ke Brazil. Sepak bola dan Brazil telah menaikkan status mereka berkat Sang Raja! Dia pergi, tapi sihirnya akan tetap ada. Pele itu abadi!”
Kelahiran bintang sebesar Pele, Maradona, atau Messi adalah siklus yang tak bisa direncanakan. Seperti kata kiper nyentrik legenda Kolombia, Rene Higuita, belum tentu dalam abad berikut kita bisa menyaksikan pemain sekualitas Leo Messi.
Rahim sepak bola akan selalu melahirkan anak-anak terbaik. Setiap pahlawan menginspirasi pemunculan pahlawan-pahlawan baru; namun “level alien” tidak bisa sekadar ditunggu. Bakat sehebat Pele, Maradona, dan Messi dihadirkan Tuhan sebagai anugerah sejarah. Katakanlah, bintang-bintang lainnya adalah “manusia biasa”.
Messi pernah menjalani hari-hari pertumbuhan karier sebagai The Next Maradona. Dan, kini giliran Argentina menunggu munculnya “Lionel Messi Baru”, dan pasti perasaan yang sama menghinggapi sepak bola Brazil pasca-kepergian Pele.
Budaya Pop
Ungkapan “the next” atau “the new” lazim dikelola media, tentu sebagai bagian dari fenomena budaya pop. Pelabelan itu dimaknai sebagai ilham, inspirasi, atau harapan.
Anda ingat Safet Susic, “Pele dari Balkan”? Orang Yugoslavia pada dekade 1970-an mengimpikan bintangnya itu bisa berkembang sekaliber “Sang Raja”.
Pun, pastilah penggemar sepak bola era 1970-an paham mengapa Arthur Antunes Coimbra “Zico” disemati predikat “Pele Putih”. Juga Ronaldo Luis Nazario, Kaka, Robinho, dan Ronaldinho yang pernah melintaskan cahaya cemerlang.
Di Asia, striker ganas Arab Saudi Majeed Mohammed pada awal 1980-an kebagian gelar “Pele Padang Pasir”.
Legenda Ghana 1990-an, Abedi Ayew Pele menyandang nama masyhur itu, tentu karena orang tuanya mengidolakan Edson Arantes do Nascimento, dan merupakan doa bagi masa depan anaknya.
Maradona punya banyak padanan harapan. Ada Hossam Hassan “Maradona dari Sungai Nil”, Gheorghe Hagi “Maradona dari Carpathian”. Kita punya Zulkarnaen Lubis “Maradona Indonesia”. PSIS Semarang juga pernah menjuluki strikernya yang pendek-gempal Tugiyo, sebagai “Maradona Purwodadi”.
Di Argentina sejumlah pemain digadang-gadang menjadi pewaris Maradona. Dari Ariel Ortega, Juan Roman Riquelme, Javier Xaviola, Marcello Gallardo, Pablo Aimar, Javier Pastore, Carlos Tevez, hingga Lionel Messi.
Di antara mereka, hanya Messi yang mewujudkan kesetaraan sebagai “titisan” El Pibe de Oro. Lainnya mengapung ke tingkat elite, namun tidak sampai ke eksepsionalitas level.
Labelisasi inspirasi melekat dalam diri sejumlah pemain. Kita mengenal Xherdan Shaqiri, Mario Goetze, Mohamed Salah, dan Phil Foden sebagai pemain yang menyandang singgungan “Messi”. Mereka menghadirkan pencapaian sebagai pemain penting klub dan negara, namun tidak dalam level Messi.
Di Barcelona, Akademi La Masia melahirkan banyak calon “Messi baru”. Ada Bojan Krkic, Iker Muniain, dan Lee Seung-woo.
Di luar itu juga beredar nama-nama Mauro Zarate, Gai Assulin, Martin Odegaard, hingga Takefusa Kubo. Tercatat pula wonderkid Indonesia Egy Maulana Fikri, Chanatip Songkrasin (Thailand), dan Nguyen Quang Hai (Vietnam) sebagai “Messi”.
Julian Alfarez
Anda ulanglah mengamati: gol Julian Alfarez di semifinal Piala Dunia 2022 ke gawang Kroasia. Bukankah itu produk kemampuan bintang?
Dari tengah lapangan, striker 21 tahun itu meliak-liuk melewati sejumlah pemain lawan sebelum mengeksekusi bola ke gawang Dominik Livakovic.
Dalam peta sepak bola Argentina masa depan, Alfarez diproyeksikan menjadi pengganti Messi bersama Enzo Fernandez, Pemain Muda Terbaik Qatar 2022. Negeri Tango juga punya sejumlah wonderkid: Thiago Almada, Nicolas Gonzales, Alejandro Garnacho, dan Exequiel Zeballos.
Selain masa depan “malaikat baru” bagi negeri yang tiga kali juara dunia itu, kita juga sedang mengikuti progres kematangan Kylian Mbappe (Prancis), Jude Bellingham (Inggris), Gavi (Spanyol), Raphinha, Antony, Douglas Luis (Brazil), atau Jamal Musiala (Jerman).
Anak-anak ajaib menunggu peluang merebut panggung, dan dunia menanti siapa yang kelak mengisi “singgasana” Messi, Cristiano Ronaldo, atau Neymar Junior.
Rakyat Brazil, terutama. Kepergian “Sang Raja” menciptakan ruang penantian: lahirnya seniman bola, sosok eksepsional pemakai jersey Selecao nomor 10…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —