Oleh: Umi Nadliroh
PEMILU serentak 2024 tidak lama lagi akan digelar. Banyak tahapan telah berlangsung dan sedang berjalan. Mulai dari penyusunan daftar pemilih baru, verifikasi kepesertaan pemilu, yang akan segera ditetapkan dan diumumkan kepesertaannya. Sementara Penyusunan Daerah Pemilihan (Dapil), dan alokasi kursi masih berlangsung.
Sementara tahapan penyelenggara pemilu juga sedang berjalan saat ini. Tahapannya adalah, seleksi badan penyenggara pemilu yang sifatnya adhoc, yaitu PPK atau Panitia Pemilihan Kecamatan atau penyelenggara di tingkat kecamatan. Dan tahapan ini berakhir pada 16 Desember 2022, di mana saat itu merupakan penetapan anggota PPK terpilih.
Seleksi ini menarik dan perlu mendapat perhatian dari publik, karena posisi dan peran penting mereka sebagai penyelenggara pemilu. Tugas, wewenangnya sangat besar, dan PPK inilah sebagai “Tulang Pungung” penyelenggaraan pemilu.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengamanatkan, bahwa tugas, fungsi, dan wewenang Panitia Pemilihan Kecamatan sangat signifikan. Sehingga proses dan pola rekruitmennya butuh perhatian publik, dan juga harus mendapatkan masukan dan tanggapan atas rekam jejak calon PPK.
Khusus rekruitmen badan penyelenggara adhoc, KPU menyiapkan regulasi teknis, yaitu keputusan KPU Nomor 476 tahun 2022, tentang Pedoman Teknis Pembentukan Badan Adhoc Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Untuk seleksi di tingkat kecamatan dan desa (PPK dan PPS), menggunakan Sistem Informasi Anggota KPU dan Badan Adhoc atau Siakba.
Mulai proses pendaftaran, penilaian administrasi dan juga tes tertulis, semua dilakukan secara online dengan sistem Computer Assisted Test (CAT), untuk tes tertulisnya, dan nilainya langsung bisa dilihat dan diketahui.
Hal ini sangat transparan menuju 15 besar, karena dari hasil tes tertulis ini, nilai tertinggi sampai 15 besar, atau tiga kali kebutuhan anggota PPK per kecamatan, akan maju ke babak wawancara, yang nantinya akan dipilih lima besar.
Dalam tahapan wawancara ini, KPU Kabupaten/Kota akan menggali dan mengetahuai secara mendalam, kemampuan para calon anggota PPK. Tidak hanya tentang kepemiluan, kewilayahan serta pengetahuan lain, tetapi juga menggali kemampuan mereka dibidang IT.
* * * * *
Undang-Undang Pemilu juga mengamanatkan, keanggotaan Panitia Pemilihan Kecamatan memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan. Karena tiada demokrasi tanpa keterlibatan perempuan.
Betapa pentingnya peran perempuan dalam pemilu dan demokrasi di negeri ini, penyelenggara pemilu (KPU Kabupaten/Kota), jangan sampai abai terhadap ketentuan pemenuhan minimal 30 persen keanggotaan perempuan di PPK.
Maka sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 harus diwujudkan, terutama terkait dengan keanggotaan penyelenggara pemilu, yang sifatnya adhoc.
Hasil pengamatan penulis, di beberapa kabupaten, hasil tes tertulis banyak nilai tertinggi dari calon PPK ini adalah perempuan. Sehingga tak ada alasan bagi KPU Kabupatan/Kota untuk tidak memasukkan perempuan menjadi anggota PPK. Karena dari segi kemampuan, mereka tidak kalah dengan laki-laki.
Sudah sepantasnya 30 persen perempuan penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan dipenuhi. Bukan sekadar menuntut kuantitas mereka, tetapi pada faktanya kualitas mereka sudah teruji saat ujian tertulis melalui CAT. Dan hasil nilainya pun bagus, tidak kalah dengan calon dari laki-laki.
Saat ini, kita tagih komitmen KPU Kabupaten/Kota untuk mewujudkan minimal 30 persen perempuan, menjadi penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan maupun desa. dan juga nantinya di tingkat TPS.
Karena sejatinya, demokrasi tidak membeda-bedakan dan diskriminasi terhadap perempuan. Tetapi melibatkan semua pihak, tanpa pandang bulu jenis kelaminnya, selama mereka memenuhi syarat.
Mengutip apa yang pernah dikatakan Kamala Harris, Wakil Presiden Amerika Serikat, “The status of democracy fundamentally on the status of women. Not only because the exclusion of women in decision making is a marke of a flawed democracy, but the participation of women strengthnes democracy“. (Bahwa status demokrasi tergantung status perempuan, bukan hanya karena eksklusif perempuan dalam mengambil keputusan merupakan penanda demokrai yang cacat, tetapi partisipasi perempuan memperkuat demokrasi).
Inilah pentingnya keterllibatan perempuan dalam pemilu, yang berarti telah memperkuat demokrasi. Semoga KPU Kabupaten/Kota benar-benar memiliki komitmen untuk mewujudkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan pada jajaran penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan, serta adhoc lainnya.
— Umi Nadliroh, Ketua Lembaga Kajian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LKP2A) dan Dosen STAI Pati —