Oleh: Amir Machmud NS
“GEGER GENJIK” Argentina versus Belanda dalam perempat final Piala Dunia 2022, sejatinya tak hanya dipicu oleh letupan-letupan sebelum, pada saat, dan selepas pertandingan.
Anda yang sudah mengikuti putaran final sejak era 1970-an, akan menemukan simpul, kedua tim telah memendam “api dalam sekam” sejarah perseteruan.
Titik puncaknya adalah final Copa del Mundo 1978. Tuan rumah Albiceleste menundukkan De Oranye 3-1 lewat perpanjangan waktu. Itulah salah satu final Piala Dunia terbaik sejak turnamen digelar pada 1930.
Mengalahkan Belanda yang berlabel tim total football adalah hasil penuh gengsi bagi Daniel Passarella dkk. Bukankah empat tahun sebelumnya di Jerman Barat, di babak grup Johan Cruyff cs menang mudah 4-0?
Final 1978 menjadi pertaruhan kehormatan Tim Tango dan peluang emas Belanda untuk meraih gelar dunia, namun Argentina lebih beruntung. Ketegangan demi ketegangan terjadi dari menit ke menit. Permainan keras dan konfrontasi mewarnai laga.
Pertemuan antara kedua tim pun akhirnya menjadi duel klasik, baik dalam turnamen resmi maupun Piala Dunia.
Lewat pasang surut performa, keduanya berjumpa lagi dalam laga provokatif di perempat final Piala Dunia 1998, yang dimenangi Belanda 2-1. Lalu edisi 2014 di semi final, Argentina menang adu penalti, persis sama dengan momen Qatar 2022.
Dalam 10 duel, Argentina dan Belanda sama-sama membukukan empat kemenangan. Dua laga sisa berakhir imbang.
Dari seni bermain dan pengembangan taktikal, Argentina dan Belanda memiliki karakter masing-masing. Sama-sama menyukai permainan menyerang, kedua tim punya artis-artis hebat yang memberi corak dalam setiap pertemuan.
Kedua negara melahirkan bintang-bintang besar dalam setiap era, sehingga selalu menjanjikan pertemuan yang berkelas.
Sedemikian Sensitif?
Mengapa di Qatar kali ini emosi kedua kubu sedemikian sensitif?
Pertama, impian Argentina meraih juara dan mandedikasikannya untuk sang kapten, Lionel Messi.
Apabila mampu meraih trofi, Messi tak lagi diragukan menjadi pemain terbesar dalam sejarah. Mahkota Piala Dunia-lah yang selama ini selalu melemahkannya di hadapan capaian sang legenda, Diego Maradona (1986).
Kedua, realitas perkembangan teknologi informasi mudah meletupkan tafsir pernyataan apa pun. Seperti mind game yang dilancarkan oleh pelatih Belanda, Louis van Gaal tentang Leo Messi. Statemen Van Gaal menyulut tekad pembuktian Messi, yang lalu tak mampu menahan diri untuk bereaksi setelah laga.
Ketiga, betapa pun santun dan hebat, Messi tetap manusia biasa yang bisa gusar dan marah. Perasaan itu diluapkan dengan ekspresi yang tak terduga. Nyatanya, La Pulga menjadi “sasaran” apa saja: perhatian, permainan keras, provokasi, serta taktik bermain lawan untuk mereduksi perannya.
Elemen-elemen emosi seperti itu menyuburkan perseteruan yang memang sudah punya akar. Mario Kempes, Maradona, Ariel Ortega, dan kini Messi merasakannya. Sama seperti Rob Rensenbrink, Marco van Basten, Dennis Bergkamp, dan kini Virgil van Dijk mengalaminya.
Ketegangan adalah salah satu aspek keindahan sepak bola. Akan tetapi, “silaturahim permainan” yang dibumbui konfrontasi fisik secara berlebihan tentu mengurangi eksotikanya.
Ya, siapa yang tak ingin menyaksikan pemain sekelas Messi mengetengahkan aksi-aksi puncak, di laga-laga akhir Piala Dunia pamungkasnya?
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —