blank
Gapura di Masjid Menara Kudus dan serambi Masjid Mantingan yang sama-sama berhiaskan ukiran.

JEPARA (SUARABARU.ID)- Keberadaan kota Kudus mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kota Jepara. Selain letak geografisnya yang sangat dekat, pada masa Kerajaan Islam Demak, dua kadipaten ini sering disebut-sebut dalam sejarah babad tanah Jawa.

blank
Makam Kiai Telingsing di Sunggingan, Kudus.

Jika kita berkesempatan melakukan traveling dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di wilayah Pantura, Makam Sunan Kudus dan bangunan Menara Kudus bisa menjadi destinasi wisata sejarah yang mengasyikan. Jika dirunut sampai ke Masjid Mantingan dan Makam Ratu Kalinyamat di Jepara, maka akan ditemukan kesamaan hiasan-hiasan ornamen ukiran yang menempel di kedua masjid tersebut.

blank
Salah satu ornamen ukir yang tertempel di Masjid Mantingan Jepara.

Dalam cerita tutur yang berkembang di tengah masyarakat, di Kudus dan Jepara terdapat dua orang ahli ukir dari Cina yang diyakini hidup sezaman. Dua orang itulah yang pertama kali memperkenalkan kesenian ukir kepada masyarakat, sehingga seni ukir menjadi salah satu warisan sejarah yang masih berkembang hingga saat ini.

Ahli ukir yang pertama bernama Kiai Telingsing atau The Ling Sing. Makamnya berada di daerah Sunggingan, Kudus. Tidak jauh dari Menara Kudus. Kiai Telingsing salah satu ulama penyebar agama Islam di tanah Jawa yang berasal dari Cina. Setelah melakukan pelayaran dari Cina, Kiai Telingsing kemudian membuka wilayah di daerah Tajug (nama lain kota Kudus sebelum kedatangan Sayyid Ja’far Shodiq).

blank
Makam Kiai Telingsing bagian dalam.

Selain menyebarkan agama Islam, Kiai Telingsing juga mempunyai keahlian mengukir. Warga sekitar Menara pada waktu itu selain diajari pengetahuan tentang agama Islam, juga diajari keterampilan mengukir. Kiai Telingsing juga punya ilmu pengobatan, serta ahli dalam ilmu kanuragan.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, hingga pada masa Kiai Telingsing sudah sepuh dan ingin mencari pengganti untuk menyebarkan agama Islam di Kudus, dirinya berdoa kepada Allah, hingga Kerajaan Demak mengirim Sayyid Ja’far Shodiq untuk berdakwah di Kudus.

Sedangkan ahli ukir yang kedua adalah Patih Sungging Badar Duwung, mempunyai nama Cina Tjie Hwio Gwan. Patih Sungging Badar Duwung bersasal dari Cina, dan merupakan ayah angkat Sultan Hadlirin, Suami Ratu Kalinyamat. Patih Sungging Badar Duwung inilah yang memperkenalkan seni ukir kepada masyarakat Jepara.

Ornamen relief ukiran yang tertempel di Masjid Mantingan diyakini merupakan hasil karya Patih Sungging Badar Duwung saat Jepara berada di puncak kejayaan bersama Ratu Kalinyamat sebagai pemegang tampuk kekuasaan.

Kabupaten Jepara dalam abad ke-19 dan ke-20 telah menjadi terkenal berkat pembuatan perabot-perabot dan barang-barang keperluan rumah tangga yang terbuat dari kayu yang dihiasi ukir-ukiran penuh bergaya seni.

Rumah-rumah Jawa kuno di Kudus sekarang (atau dahulu) sering juga mempunyai dinding depan dari kayu dengan pintu dan jendela-jendela, yang semuanya diberi bingkai kayu dengan ukir-ukiran indah.

Penduduknya, pedagang-pedagang dan pengusaha-pengusaha kayu, yang tergolong lapisan menengah “yang saleh”, dengan hiasan-hiasan ini ingin menyatakan kemakmuran mereka dalam kehidupan masyarakat. Orang boleh bertanya-tanya dalam hati apakah kesenian mengukir kayu, yang telah mencapai tingkat perkembangan tinggi di Kudus dan Jepara mungkin juga berasal dari kalangan orang-orang Cina pendatang, yang pada abad ke-15 dan ke-16 (dan mungkin sudah sebelumnya) sudah banyak terdapat di daerah-daerah ini. Dalam legenda Jawa mengenai penduduk asli di daerah itu, tempat didirikannya “kota suci” Kudus kemudian, tampil juga seorang utas pengukir kayu (H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, 1985 : 122).

ua