blank
Nur Hayati, Ketua kelompok Batik Wijayakusuma RW 6 Kelurahan Mangkang Wetan Kecamatan Tugu Kota Semarang menunjukkan kain batik yang masih dalam tahap gambar dengan canting sebelum diwarna, di tempat lokasi pembuatan batik, Kamis (24/11/2022). Foto : Dok Absa

SEMARANG (SUARABARU.ID) Pemanfaatan limbah tanaman mangrove, untuk peningkatan ekonomi dilakukan dengan berbagai macam jenis usaha, oleh warga dukuh ngebrak, Kelurahan Mangkang Wetan, Kecamatan Tugu Kota Semarang.

Salah satunya, yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga warga RW 6 Kelurahan Mangkang Wetan, yang menjadikan limbah tanaman mangrove untuk pembuatan batik dan bisa dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Yang penjualannya, menurut Nur Hayati, Ketua kelompok Batik Wijayakusuma, hingga saat ini masih bersifat tradisional menunggu pesanan, melalui pameran-pameran atau masyarakat yang mengunjungi wilayah pesisir mangrove, belum menggunakan fasilitas digital online.

BACA JUGA : Sambut Peringatan HMPI Djarum Foundation Gelar Dialog dan Kunjungan ke Pusat Pembibitan Tanaman

“Kain ini jenisnya Prinis, ukuran 2×1 meter kita jual seharga 300 ribu untuk yang cetak, kalau yang canting Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu. Agak mahal karena proses pembuatannya lama ya, 1 lembar kain saja bisa sampai 1 bulan pembuatannya. Untuk penjualan, alhamdulillah kalau cetak sampai bulan ini, ya kurang lebih bisa menjual hingga 65 lembar, kalau yang canting hanya 30 lembar,” jelasnya di tempat pembuatan batik.

Kenapa menggunakan kain jenis Prinis, lanjutnya, karena hasilnya lebih bagus dan lebih cerah, sangat beda jika menggunakan kain jenis lain, yang hasilnya tidak bagus, kurang cerah dan terlihat kusam. Sedangkan motif batik yang digunakan, lebih kepada motif tanaman mangrove, dengan warna lebih dominan coklat.

blank
Ibu-ibu rumah tangga warga RW 6 Kelurahan Mangkang Wetan Kecamatan Tugu Kota Semarang yang tergabung di kelompok Batik Wijayakusuma sedang mebatik dengan canting di di tempat lokasi pembuatan batik, Kamis (24/11/2022). Foto : Dok Absa

Sejak Kenal Djarum Foundation

Selama proses menggeluti usaha pembuatan batik sejak tahun 2005 lalu, Nur Hayati (56), mengaku merasa bangga, karena bisa mengantarkan lima dari enam anaknya hingga lulus ke jenjang perguruan tinggi, dengan usaha limbah tanaman mangrove tersebut.

“Alhamdulillah Saya bersyukur, dari hasil ini dan sejak kenal Djarum Foundation tahun 2007 hingga sekarang, saya bisa menguliahkan anak saya 5 hingga lulus. Kemarin alhamdulilah kita dikenalkan ambasador dari Itali, terus beli batik juga,” ungkap Mamak Nur, sapaan akrabnya.

Dengan kerjasama yang sudah dibangun tersebut, Mamak Nur berharap, Djarum Foundation dapat memfasilitasi daerahnya untuk bisa dijadikan desa wisata mangrove, sehingga nantinya dapat semakin meningkatkan penghasilan ekonomi warganya.

“Ya harapannya, (Djarum Foundation) dapat membikin eko wisata juga di sini (Mangkang Wetan) ya. Karena di sini sudah siap semua ya. Ada olahan masakan laut, ada batik, ada kerupuk ya sudah macam-macam lah. Karena katanya jika sungai sudah jadi bisa dijadikan eko wisata,” harapnya.

Absa