Oleh: Mohammad Dalhar
JEPARA (SUARABARU.ID)- Beberapa hari menjelang 28 Oktober banyak orang yang memasang foto diri dengan media twibon Sumpah Pemuda. Hadirnya media sosial secara bersamaan juga dengan mundah menyosialisasikan hari-hari bersejarah. Bagaimana dengan internalisasinya. Media sosial tampaknya belum sampai sejauh itu.
Sumpah Pemuda sebagai peristiwa sejarah, dikumandangkan pada 28 Oktober 1928. Peristiwa itu merupakan momentum penting dalam perjalan bangsa ini. Di tengah kolonialisasi atau penjajahan yang berlangsung, para pemuda dari bermacam perwakilan daerah dan etnis melaksanakan kongres yang belakang dikenal sebagai sumpah pemuda.
Ini adalah sebuah keberanian. Nilai-nilai tentang makna sebuah bangsa (baru) yang bernama Indonesia tidak muncul seketika, tetapi melalui proses yang panjang. Sekurang-kurangnya dapat diketahui pada awal abad ke-20. Penyemaian ini tidak lepas dari kebijakan pendidikan yang dikemas dalam Politik Etis. Salah satu produk dari kebijakan ini adalah lahirnya banyak sekolah-sekolah yang fasilitasi oleh pemerintah. Meski demikian, pendidikan masih bersifat terbatas dan diskriminatif.
Lahirnya tokoh-tokoh yang memikirkan bangsanya, seperti Sosrokartono, Soekarno, Soegondo Djojopuspito, Hatta, Yamin, WR. Supratman, Leimena, Sam Ratulangi, Juanda, dan lain sebagainya merupakan produk pendidikan. Mereka merupakan para pemuda yang “melampaui batas.” Tidak semua pemuda pada waktu itu berani ambil risiko dengan terjun dalam jalan politik kebangsaan.
Pertemuan para pemuda dalam forum-forum organisasi menjadikan rasa kebangsaan semakin tumbuh. Berbagi pengalaman dan peran menjadikan mereka saling memahami. Pertentangan kepentingan dan orientasi organisasi juga sering terjadi. Kompromi menjadi jalan yang ditempuh. Tanpa itu, mustahil kata sepakat tercapai.
Inisiator dari kongres pemuda II ini adalah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar di seluruh Indonesia. Kongres dilaksanakan dua hari (27-28 Oktober 1928) dengan tiga tempat yang berbeda di Batavia (Jakarta): Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Gedung Oost Java Bioscoop, dan Gedung Indonesische Clubhuis Kramat (museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id).
Pada hari kedua, 28 Oktober, di gedung yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda para pemuda menyelesaikan kongres. Lagu Indonesia Raya dinyanyikan oleh W.R. Supratman untuk pertama kalinya. Pada bagian penutup diikrarkan yang berisi penegasan tentang tumpah darah, kebangsaan, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Peristiwa bersejarah yang dihadiri ratusan pemuda tersebut sejak 1959 diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda.
Semangat Muda
Tonggak penting perjalan sebagai bangsa saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Sebelum Sumpah Pemuda 1928, ada Kongres Pemuda I tahun 1926. Sebelumnya, ada juga Manifesto Politik 1925 yang dikeluarkan oleh organisasi Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda. Manifesto ini memiliki tiga prinsip dasar yaitu persatuan, kesetaraan, dan kemerdekaan.
Dari serangkaian tonggak sejarah, kaum muda menjadi penggerak utama. Kaum muda merupakan sebuah komunitas yang dibayangkan memiliki idealisme tinggi dengan semangat perubahan. Pemuda digambarkan sebagai kelompok yang anti pada kemapanan. Artinya, ingin mengubah kondisi yang tidak seusai dengan yang seharusnya (das sollen).
Tidak ada yang salah. Pemuda bukan sekadar urusan usia, tetapi lebih utama adalah semangat atau spirit. Memang seharusnya kaum muda mengawali perubahan yang ada di lingkungannya. Tidak terbatas pada urusan politik, tetapi dalam berbagai sektor kehidupan lainnya. Ekonomi, lingkungan, kebudayaan, pertanian, dan sebagainya.
Peringatn Sumpah Pemuda ke-94 tahun bukan sekadar seremonial, peringatan. Adanya peringatan merupakan hal yang positif. Minimal untuk mengingatkan ada peristiwa penting. Lebih penting lagi jika hal tersebut ditingkatkan lagi untuk dapat memahami dan memaknai ulang dengan kondisi yang ada hari ini. Kurang lebih itulah yang dimaksud dengan kearifan dengan mempelajari sejarah atau peringatan hari-hari bersejarah.
Hari ini ada begitu banyak hal yang dapat dilakukan oleh kalangan muda untuk mengawali sebuah gerakan. Misalnya di pedesaan ada peluang untuk menciptakan kehidupan ramah lingkungan dengan mengelola sampah, terlebih pada musim hujan seperti saat ini. Bisa juga membuat gerakan literasi, utamanya membaca dan menulis. Pemberdayaan ekonomi, pertanian, dan masih banyak lainnya. Gerakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan. Perlu fokus dan berkolaborasi dengan para pemuda yang lain tentunya.
Tentu, di era yang serba terbuka ini, eksistensi dan bimbingan dari para generasi tua juga sangat diperlukan. Tujuannya tidak lain adalah untuk sosialisasi dan agar selaras dalam pemikiran serta langkah.
(Mohammad Dalhar, Pegiat sejarah dan budaya Jepara. Tinggal di Jepara).