Menggugah Komitmen Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar

257
0
blank
Sulismanto

Oleh Sulismanto*

Peringatan hari Sumpah Pemuda pada tahun ini masih begitu relevan untuk dijadikan sebagai momentum penguatan komitmen berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Meski “Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” merupakan salah satu janji yang disepakati dalam Sumpah Pemuda, komitmen tersebut masih perlu terus didorong.

Peristiwa terkait pedoman dalam penggunaan bahasa Indonesia pada 16 Agustus 2022 yang lalu, boleh kita gunakan untuk mengira-ngira seberapa kuat kita memegang komitmen tersebut. Saat itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud) mencabut pemberlakuan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), diganti dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). EYD edisi kelima (EYD V) inilah yang kini menjadi acuan kaidah bahasa Indonesia.

Setelah lebih dari dua bulan PUEBI diganti EYD V, seberapa banyak penutur bahasa Indonesia yang tahu perkembangan ini? Mereka yang sudah tahu, mungkin saja berada di dalam komunitas yang memiliki komitmen kuat untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Komitmen seperti ini yang kita butuhkan. Iya, komitmen, bukan sekedar ingin.

Hadirnya begitu banyak platform media sosial membuka dengan jelas fakta kurang menggembirakan. Banyak di antara kita yang baru berada pada tahap ingin menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, belum sampai di tahap komitmen. Di ruang publik dan medsos, kita begitu mudah mendapati produk tertulis yang belum sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, termasuk dalam dokumen resmi.

Silakan ambil contoh media komunikasi apa saja: spanduk, poster, baliho, surat, hingga foto kegiatan yang bertebaran di media sosial. Kupas kalimat-kalimatnya sesuai kaidah EYD V atau panduan sebelumnya, PUEBI. Kita tidak akan kesulitan menemukan tulisan yang keluar dari kaidah tersebut.

Hal itu menunjukkan, banyak penutur bahasa Indonesia yang belum sepenuhnya sadar penempatan EYD sebagai pedoman penulisan. Demikian pula dengan cara pandangnya terhadap Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kita bisa dengan mudah menemukan banyak kata tidak baku dari bahasa asing atau bahasa daerah—dalam dokumen resmi—yang tidak ditulis miring. Kondisi itu bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu tidak paham dan tidak peduli kaidah penulisan, atau tidak tahu bahwa yang sedang ditulis merupakan kata tidak baku.

 

EYD dan KBBI “Kitab Suci” Bahasa Indonesia

Seseorang yang memiliki komitmen kuat untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar akan terus belajar. Proses itu akan mengantarnya pada pengetahuan bahwa bahasa Indonesia memiliki EYD sebagai pedoman kebahasaan serta KBBI sebagai acuan tertinggi bahasa Indonesia baku.

Ketika sudah memahami bahwa bahasa Indonesia memiliki acuan dua “kitab suci penulisan” tersebut, maka kemauan untuk mempelajari keduanya sangat berpengaruh terhadap kualitas tulisan. Apa artinya mengetahui keberadaan EYD dan KBBI, tapi tidak pernah mau mempelajari?

Kita bisa melihat banyak tulisan dalam dokumen resmi yang salah kaidah pada aturan-aturan dasar. Misalnya penggunaan tanda baca dasar seperti titik (.), koma (,), dan tanda hubung (-). Padahal bahasa Indonesia mengenal 15 tanda baca yang diatur dalam EYD. Demikian pula pada aturan mendasar penulisan huruf kapital dan huruf miring.

EYD tidak sekedar memberi acuan penulisan, tapi juga contoh penggunaannya dalam kalimat. Dengan contoh-contoh itu, kaidah-kaidah dasar penulisan bisa kita cermati.

Di tengah kemajuan teknologi informasi, kita tidak harus menyisihkan uang lebih untuk membeli EYD V versi cetak. Cukup mengunduh aplikasi EYD V ke dalam gawai yang kita miliki. Untuk menjamin kemudahan akses dan keleluasaan jangkauan, Kemendikbud juga menerbtkan EYD V dalam bentuk aplikasi web yang dapat diakses melalui laman ejaan.kemdikbud.go.id. KBBI juga bisa diunduh dalam bentuk aplikasi bernama KBBI atau diakses melalui laman kbbi.kemdikbud.go.id.

EYD V memuat 4 pedoman penggunaan dan penulisan huruf, kata, tanda baca, dan unsur serapan. Bagian penggunaan huruf mengatur 8 kaidah termasuk aturan penulisan huruf kapital dan huruf miring; bagian penulisan kata mengatur 9 kaidah mulai kata dasar, kata turunan, pemenggalan kata, kata ganti, hingga kata sandang; bagian penggunaan tanda baca terbagi dalam 15 kaidah; dan bagian penulisan unsur serapan terbagi ke dalam serapan umum serta serapan khusus. Sedangkan dalam KBBI, terdapat 127.036 lema dan makna yang telah dibakukan.

Siapa yang bisa menghafal jumlah panduan kaidah, lema, serta makna—di dalam EYD dan KBBI—sebanyak itu? Maka kuncinya adalah kemauan mempelajarinya untuk meminimalkan kesalahan. Setidaknya, gunakan sebagai panduan saat menulis. Lihat contoh-contoh di dalam EYD V saat menulis apa pun. Cara seperti ini biasanya lebih mudah diingat.

 

Komitmen Guru

Ada kelompok profesi tertentu yang memiliki kekuatan besar menjadi “gerbong” penarik masyarakat agar berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Penulis dan guru di antaranya. Seorang penulis menghasilkan karya yang dibaca khalayak. Sedangkan berprofesi sebagai guru merupakan pilihan sadar untuk menjadi contoh serta mengajari anak-anak membaca dan menulis. Jika seorang pengajar enggan mempelajari EYD dan KBBI, maka bisa dibayangkan bagaimana kemampuan siswanya.

Di tengah era media sosial, begitu banyak orang termasuk warga sekolah yang ingin menunjukkan eksistensi. Foto kegiatan di sekolah, banyak yang diunggah ke media sosial. Spanduk, poster, atau baliho acara yang tampil dalam foto-foto tersebut dengan mudah dibaca oleh siapa pun.

Dalam pencermatan penulis, peringatan hari besar keagamaan adalah agenda yang paling sering menampilkan fakta betapa kepedulian kita terhadap kaidah penulisan masih perlu terus didorong. Banyak unsur serapan dari bahasa asing, terutama bahasa Arab yang sudah dibakukan, tetap ditulis berbeda dari KBBI. Kata, rangkaian kata, hingga singkatan seperti peringatan Isra Mikraj, halalbihalal, salat, Idulfitri, Iduladha, ustaz, selawat, jemaat, musala, a.s., saw., hingga Swt., lebih banyak yang tertulis salah dengan varian huruf berbeda.

Penulisan angka dan bilangan yang mengiringi peringatan hari besar nasional juga sering tidak cermat. Padahal, sebelum peringatan-peringatan tersebut, lembaga di bawah Kemendikbud seperti Balai Bahasa telah menerbitkan poster-poster digital berisi contoh penulisan yang benar, lalu dipublikasikan melalui berbagai media. Nyatanya, produk tulisan dari lembaga resmi dan lembaga pendidikan—yang notabene jadi contoh masyarakat—, tetap tidak sesuai kaidah dan contoh yang diberikan. Maka sekali lagi, persoalannya berada pada komitmen untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Suatu ketika, penulis mencermati naskah soal resmi jenjang sekolah dasar. Kaidah penulisan antara satu mapel dengan mapel lain, ada yang terlihat sangat berbeda kualitasnya. Bukankah soal-soal seperti ini dibuat oleh sebuah tim? Kenapa tingkat kepatuhan kaidah antara tim yang satu dengan tim yang lain bisa sedemikian berbeda? Di mana posisi penyunting bahasa dalam tim itu? Bukankah tim tersebut dibentuk berjenjang?

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa semangat untuk saling mengoreksi produk bahasa Indonesia di lembaga resmi dan satuan pendidikan, masih perlu terus didorong demi terwujudnya bahasa Indonesia yang baik dan benar. Instansi resmi memerlukan sumber daya manusia yang memiliki komitmen kuat sebagai filter bahasa.

Di satuan pendidikan, ruang guru—baik  dalam bentuk kantor, ruang diskusi, forum pertemuan, hingga grup-grup media sosial—sebaiknya digunakan sebagai ruang yang terbuka untuk saling memperbaiki, saling memberikan koreksi. Bukankah sudah menjadi kesadaran bersama bahwa produk tertulis dari lembaga pendidikan serta materi yang diajarkan oleh para guru merupakan contoh yang selalu ditiru oleh peserta didik dan masyarakat?

Maka ketika harapan terbesar upaya peningkatan kualitas kebahasaan ini disematkan di satuan pendidikan dan para guru, itu merupakan bentuk pengakuan terhadap posisinya sebagai teladan. Juga bukan bermaksud mengesampingkan peran profesi maupun lembaga lain.

Sangat sayang jika momentum peringatan Sumpah Pemuda kali ini kita biarkan lewat begitu saja.

 

*Sulismanto: penulis esai Jeparanan di Suara Baru dan penyunting di Majalah Gelora Bumi Kartini, Jepara.