JEPARA (SUARABARU.ID)- Salah satu sejarah yang luput dari perhatian khalayak adalah sejarah pemberontakan Untung Suropati bersama laskar Bali di Kartosuro yang menewaskan perwira terbaik VOC saat itu yang bernama Kapten Francois Tack.
Pasca padamnya pemberontakan Trunojoyoa pada 1680, Kapten Tack menuju istana Mataram di Kartosuro untuk menagih Susuhunan Amangkurat II. Saat sampai di Kartosuro terjadi kerusuhan besar-besaran di kraton Kartosuro yang dipimpin oleh Untung Suropati. Kobaran api dan kepulan asap menutup pandangan mata. Pasukan Kapten Tack bersiaga di alun-alun.
Serangan bertubi-tubi dari Laskar Suropati membuat pasukan Kapten Tack kewalahan karena tidak melakukan persiapan. Kapten Tack tidak mengira akan disambut dengan peperangan, karena Amangkurat II merupakan sekutu VOC Belanda. Ternyata, kerusuhan yang terjadi di keraton Kartosuro merupakan sandiwara antara Untung Suropati dengan Susuhunan Amangkurat II dan merupakan persekongkolan untuk menyambut pasukan Belanda.
Pemberontakan Untung Suropati dan laskar Bali dibuat seolah-olah menyerbu istana Mataram untuk menyerang Amangkurat II. Laskar Mataram dikubu Amangkurat II juga melakukan sandiwara peperangan dengan laskar Bali yang pada akhirnya membelot bersama-sama menyerang pasukan VOC.
Pasukan Kapten Tack terjebak di tengah alun-alun di tengah kecamuk perang antara pasukan Untung Suropati dan Laskar Mataram. Sebelum pada akhirnya menyadari itu semua hanya sandiwara belaka. Dalam keadaan terdesak pasukan Kapten Tack tidak membawa pasukan tombak, dan hanya mengandalkan pasukan senapan. Sedangkan setelah melepaskan tembakan, waktu untuk mengisi peluru senapan tidak ada kesempatan lagi. Pasukan Untung Suropati mengamuk menghabisi pasukan VOC dengan tombak-tombak panjang.
Dengan berteriak “amuk-amuk” gegap gempita orang-orang Bali menyerbu pasukan Belanda. Kebanyakan mereka sudah menghabiskan mesiunya. Dan dengan pedang semata mereka tidak berdaya menghadapi orang-orang Bali dengan tombaknya yang panjang. Selain itu, karena lindungan asap yang tebal, orang-orang Bali dengan mudah mendekati musuh lalu menggulung mereka bagaikan “macan-macan kelaparan”. (HJ. De Graff, 1989, hlm 78).
Kapten Tack berusaha turun dari kudanya untuk ikut membantu pasukannya berperang. Namun, sebelum turun dari kudanya, Kapten Tack terkena tombak keramat Kiai Plered dan tewas. Sebanyak 68 pasukan Belanda tewas, dan 12 orang luka berat. Sedangkan dari kubu Suropati jumlah orang Bali yang tewas sekitar 50 orang 20 luka berat.
Saat ditemukan, jasad Kapten Tack terlihat sangat mengerikan. Terdapat 20 luka tusukan, bahkan salah satu sumber mengatakan kepala Kapten Tack dipenggal. Ada dua versi dimana jasad Kapten Tack dimakamkan. Yang pertama versi yang mengatakan dia dimakamkan di Jepara, karena perjalanan ke Batavia cukup jauh. Namun versi yang kedua yang mengatakan setelah dimakamkan di Jepara kemudian dipindah ke Batavia.
Dikutip dari NatGeo Indonesia, “Pemakaman kembali dari Jepara ke Batavia itu biayanya sangat mahal,” ujarnya. Andai kata Tack bukan seorang adik ipar Sang Gubernur Jenderal, barangkali jasadnya tetap abadi di Benteng Jepara. Kalaupun dipindah ke Batavia —sebagai seorang yang hanya berpangkat kapten —mungkin makamnya berlokasi di halaman gereja, bukan di dalam lantai gereja. (Lilie Suratminto, pengajar bahasa dan budaya Belanda di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia).
ua