Nah……. jelas kan, bermula dari pokal (pikiran), lalu bermuara di pokil yakni trik tipu-tipu untuk mencari keuntungan diri sebanyak-banyaknya.  Bagaimana atau seperti apa contoh konkret dari pokil itu? Jangan ditanya lagilah  bagaimana dan seperti apa pokil di eksekutif, legilslatif dan yudikatif itu. Tahu sama tahu sajalah.

Pokrul lan Pukrul 

Dalam fakta gembosnya seorang (benar seorang?) hakim agung baru-baru ini, alur pokal lan pokil tadi seolah-olah mengerucut kepada dia yang berkecimpung bahkan  sebagai penjaga gawang hukum.   Pokrul utawa pokrol, konon ada yang mengatakan berasal dari kata Belanda, bermakna orang yang ngembani perkara ing pengadilan. Seorang pokrul utawa pokrol adalah dia yang berjibaku di meja hijau bahkan kalau perlu berdebat sesuai dengan kepakaran masing-masing di bidang  hukum. Semakin pakar dan mendalam penguasaannya atas ayat-ayat perundang-undangan berikut peraturannya, tentulah orang itu akan disebut seorang pokrul yang hebat.

Akan tetapi, apabila kepakarannya itu dibayang-bayangi oleh pokal lan pokil, tidaklah mustahil jabatan “yang mulia”  sebagai pokrul itu berubah sontak menjadi pukrul. Makna pukrul ada dua; pertama, seseorang disebut pukrul apabila ia sering bertindak (seolah-olah) sebagai pokrul/pokrol akan tetapi dia  ora weton saka pamulangan luhur.

Tegasnya, ia tidak memiliki ijazah resmi dari perguruan tinggi terakreditasi, namun mondar-mandir di belantara pembelaan masalah-masalah hukum. Itulah pukrul.  Dan arti kedua pukrul ialah, apus-apus adhedhasar hukum atau undang-undang.

Dengan kata lain, main-main hukum, dan siapa piawai main-main hukum tentulah mereka yang memang pintar main-main dan mempermainkan.

Orang yang  tahu permainanlah yang (akan) bisa mempermainkannya. Meskipun ada saran “janganlah mempermainkan permainan,”  namun pokal lan pokil sering membuat seorang pokrul lupa sehingga menjadi pukrul. Nah ……………. ruwetkah?

JC Tukiman Taruna, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang