Saparan Mantran wetan
Selain membawa nasi tumpeng, masyarakat Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang juga membawa ingkung ayam kampung. Bahkan, satu keluarga membuat ingkung ayam lebih dari tiga ekor. Foto. W.Cahyono

KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID)- Sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat di kaki Gunung Andong, tepatnya di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang menggelar merti desa atau yang sering dikenal dengan istilah “Saparan”.
Tradisi yang masih dipertahankan bagi masyarakat yang ada di kawasan lereng Gunung Andong tersebut, biasanya digelar bertepatan pada hari Rabu Pahing ( penanggalan Jawa-red) di bulan Sapar. Namun, pada tahun ini, tradisi Saparan tersebut tidak dilaksanakan di bulan Sapar melainkan di awal bulan Mulud
“Pada tahun ini tradisi Saparan dilakukan mundur sedikit. Karena, di bulan Sapar tahun ini tidak ada hari Rabu Pahing, dan dilaksanakan pada tanggal dua Bulan Mulud Rabu ( 28/9),” kata Kepala Dusun Mantran Wetan, Handoko di sela-sela acara Saparan, Rabu ( 28/9/2022).
Handoko mengatakan, kegiatan Saparan tahun ini merupakan tahun pertama dilaksanakan secara meriah dengan pementasan wayang kulit dan kesenian lainnya. Karena, selama dua tahun terakhir, pelaksanaan Saparan dilakukan secara sederhana, setelah badai covid-19 melanda seluruh penjuru bumi ini.
Selain itu, acara Saparan tahun ini dilaksanakan di tengah-tengah suasana yang agak berbeda. Yakni, saat ini harga sayuran hasil ladang masyarakat Dusun Mantran Wetan merosot tajam.
“Meskipun harga sayuran turun, kami tetap melaksanakan tradisi merti desa ini.Untuk persiapan Saparan ini, masyarakat mengeluarkan anggaran yang cukup besar yakni mencapai Rp 3 juta per keluarga,” katanya.
Sebelum pelaksanaan doa bersama tersebut, masyarakat setempat dalam menjalankan tradisi itu, ditandai dengan kirab ratusan orang dan orang mengusung tumpeng dan ingkung. Mereka berjalan kaki dari tempat ujung dusun setempat hingga halaman rumah Kepala Dusun Mantran Wetan,Handoko.
Dari sekian banyak nasi tumpeng yang disediakan dalam ritual tersebut, ada satu tumpeng dengan ukuran lebih besar dan lengkap beraneka sayur-mayur hasil panenan ladang para petani setempat. Tumpeng tersebut dinamakan tumpeng “Jangka” atau tumpeng pengharapan.
Sesampainya, di halaman rumah kadus setempat, mereka meletakkan tumpeng dan ingkung di atas tikar yang ada di atas panggung yang akan dijadikan tempat untuk pergelaran wayang kulit.
Menurutnya, dengan digelarnya tradisi Saparan tersebut, masyarakat Dusun Mantran Wetan berharap selalu memperoleh kehidupan tenteram dan damai di lingkungan yang ada di lereng Gunung Andong.
“Kami juga minta kepada Tuhan untuk keselamatan dan kehidupan tenteram seluruh warga supaya bisa terus giat bekerja menggarap pertaniannya. Selain itu kami berharap panenan mendatang harganya tinggi,” katanya.

Sengaja Diundang

Salah satu tokoh masyarakat Mantran Wetan, Supadi Haryanto menambahkan, menambahkan, pesta para petani sayuran yang ada di kaki Gunung Andong tersebut, tidak hanya berlangsung selama satu hari saja. Melainkna, dari Jumat –Minggu ( 30 September hingga 2 Oktober) ada dipentaskan berbagai macam kesenian dalam acara “ Festival Lima Gunung.”
Menurutnya, bertepatan dengan acara Saparan tersebut, masyarakat Mantran Wetan menerima kedatangan para tamu dari para teman , keluarga dan relasi masing-masing kepala keluarga yang ada di wilayah lain.
Tak ayal, kedatangan para tamu yang berkunjung ke rumah-rumah penduduk setempat seperti layaknya orang bersilaturahmi pada hari raya Idul Fitri. Namun, uniknya bila bersilaturahmi saat lebaran, para kerabat, relasi tidak diundang , tetapi pada acara merti desa tersebut, para kepala keluarga di Dusun Mantran Wetan tersebut sengaja mengundang para kerabat yang ada di luar daerah untuk datang bersilaturahmi.
Selain itu, untuk Dan juga menyiapkan berbagai macam makanan dan minuman melebihi saat hari raya Idul Fitri.
“Untuk persiapan makanan dan minuman yang disajikan kepada para tamu, biasanya warga persediaan melebihi saat untuk Idul Fitri dan mereka tidak memikirkan lagi nomimal uang yang harus dikeluarkan, melainkan sebagai wujud syukur atas panenan yang melimpah,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk pelaksanaan merti desa tersebut, masing-masing kepala keluarga juga diwajibkan untuk membuat ingkung ayam kampung.
Sehingga, bila dalam satu rumah terdapat dua kepala keluarga, maka dari satu rumah tersebut harus membuat dua ingkung ayam.
Usai pelaksanaan kenduri, masyarakat melanjutkan tradisi itu dengan mementaskan kesenian yang telah ratusan tahun ada di masyarakat setempat yakni kesenian tradisional “Jaran Papat”.
Menurutnya, kesenian tradisional yang “wajib ” ditampilkan yakni
kesenian “ Jaran Kepang Papat” tersebut semuanya dibawakan oleh empat penari yang telah lanjut usianya. W. Cahyono