KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID)-Biasanya kesenian tradisional jaran kepang atau kuda lumping dimainkan oleh lebih dari 10 orang dalam satu grup.
Tetapi, di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang ada satu kesenian kuda lumping, hanya dimainkan oleh empat orang saja. Karena, dimainkan oleh empat penari, maka kesenian jathilan tersebut dinamakan kesenian “Jaran Papat” ( empat kuda).
Uniknya, para pemain “Jaran Papat “ tersebut pemainnya rata-rata usianya sudah di atas 50 tahun, namun masih tetap eksis.
Meskipun usianya tidak lagi muda lagi, mereka berempat masih terlihat enerjik menari di atas jaran kepang yang masing-masing mempunyai bobot sekitar tiga kilogram.
Selain itu, dua diantara mereka juga membawa senjata pedang yang sudah berkarat . Sedangkan dua pemain lainnya membawa senjata berupa tongkat yang diberi kain bendera berwarna merah.
Dua penari yang membawa pedang tersebut menyimbolkan “komandan pasukan” yang masing-masing membawa satu anggotanya untuk maju dalam laga peperangan.
Gerak tarian “Jaran Papat “ ini juga tidak secepat dengan gerakan
tarian kuda lumping yang biasa dilihat di berbagai wilayah di Jawa Tengah ini. Melainkan, gerakannya sedikit monoton dan lebih lambat.
Meskipun, gamelan yang terdiri atas tiga buah bende, satu kecrek dansatu buah alat musik rebana hampir sama dengan irama musik gamelan kesenian jathilan yang lainnya. Namun, irama gamelan pengiring tarian itu juga lebih lambat daripada irama tarian kuda kepang biasanya.
Meskipun pemain inti dari tarian tersebut empat orang, tetapi kadang dalam pementasan tersebut kadang diselingi pemain lainnya yang memakai topeng “Penthul “ dan “Tembem” dan juga “Barongan.”
Irama gamelan yang monoton dan bertalu-talu tersebut juga sering menyebabkan para pemainnya in trance (kesurupan). Ini juga sering terjadi dalam pementasan kesenian jathilan atau kuda lumping .
Durasi pertunjukan tarian “jaran Papat” tersebut setiap babaknya
sangat relatif singkat yakni berkisar 15 menit, dan juga tergantung dengan para pemain yang mengalami kesurupan.
Untuk “menyembuhkan” para pemain yang kesurupan, biasanya telah disediakan berbagai macam sesaji seperti kemenyan, kembang mawar merah dan putih, air putih, teh dan kopi, kedelai goreng, kacang rebus, beragam jajan pasar, gula merah, daun sirih, air kembang, dan lainnya.
Di Dalam Rumah
Keunikan lain dari tarian “Jaran Papat” ini hanya dipentaskan dua kali dalam setahunnya, yakni saat acara merti desa di bulan Sapar dan saat bulan Syawal.
“Kesenian Jaran Papat ini merupakan kesenian pembuka dalam acara merti dusun atau saat idul fitri. Tidak boleh ada kesenian lain yang pentas, sebelum Jaran Papat dimainkan,” kata salah satu tokoh masyarakat Dusun Mantran Wetan, Supadi Haryanto.
Supadi mengatakan, stelah Jaran Papat main, kesenian lainnya yang ikut meramaikan merti dusun baru bisa dimainkan.
Ia menambahkan, tarian tersebut menceritakan perjalanan Prabu Klanasewandono dari Kerajaan Kediri untuk melamar seorang putri dari suatu kerajaan di Pulau Bali. Dan, di tengah perjalanan Prabu Klanasewandono tersebut harus berperang melawan para raksasa.
“Tarian ini tentang peperangan prajurit Klanasewandono melawan para raksasa, tidak ada yang menang dan kalah, karena sesungguhnya perang itu adalah peperangan melawan hawa nafsu,”tuturnya
Supadi menjelaskan, karena pemainnya hanya empat orang, maka tidak diperlukan arena yang luas. Bahkan, tarian tersebut bisa dimainkan di dalam rumah penduduk.
Menurutnya, tarian Jaran papat tetap dipentaskan meskipun tidak ada masyarakat yang menontonnya. Dan, dimainkan selama satu hari penuh meskipun dalam segala kondisi cuaca.
“ Bila hujan turun dan tidak memungkinkan dimainkan di halaman rumah, tarian ini tetap harus dimainkan dan dapat dilaksanakan di dalam rumah,”ujarnya. W. Cahyono.
Baca juga:https://suarabaru.id/2022/09/28/meriah-saparan-dusun-mantran-wetan-di-tengah-harga-sayuran-anjlok