blank
Tiga tokoh agama, Gus Yusuf, Bhikku Dittishampano dan Prof Abu Rochmad bertemu pada kegiatan Festival di Ngluwar, Kabupaten Magelang. (Dok panitia)

KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID) – Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama (Puslitbang) bekerja sama dengan Lembu Wikarta mengadakan Festival Toleransi.

Kegiatan itu diselenggarkaan di Taman Baca Kebun Makna, Ngluwar, Kabupaten Magelang pada 17 September 2022 dan berlangsung meriah.

Disamping dihadiri para tokoh agama, juga dimeriahkan dengan berbagai kesenian lokal. Antara lain Jaran Kepang dari Druju, Ngluwar Magelang, Barongsai dari Pajeksan, Hadrah dan pentas paduan suara anak-anak dari berbagai daerah yang diiringi grup musik Presiden Musikindo.

Kemeriahan ini terlihat dari antusiasnya warga mendengarkan pidato, maupun melihat kesenian yang ditampilkan di pagelaran itu.

Panitia Penyelenggara Kholil Rohman melalui rilis Selasa (20/9) menyatakan terima kasih atas suksesnya acara tersebut. Juga mengajak masyarkat untuk saling menghormati, saling menerima perbedaan dan saling menghargai satu sama lainnya.

Kholil menjelaskan, Festival Toleransi digelar dalam rangka menyambut Hari Perdamaian Internasional pada 21 September 2022. Penyelenggaranya Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) bekerja sama dengan Lembu Wikarta.

‘’Kebetulan tahun ini Pak Menteri Agama juga mengukuhkan tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi. Tujuannya agar kehidupan masyarakat yang beragam dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai,’’ kata Maman, panggilan akrab Kholil Rohman.

Tema Festival Toleransi ‘Memperkuat Budaya dan Spirit Perdamaian dalam Moderasi Beragama’. Seperti yang diutarakan para narasumber dari berbagai agama. Mereka menjelaskan tentang kerukunan, toleransi dan perdamaian dari perspektifnya masing-masing.

KH Yusuf Chudlori, yang biasa dipanggil Gus Yusuf menjelaskan tentang makna toleransi dalam Islam disebut tasammuh bukan tasydiq. Karena yang dibutuhkan adalah tasammuh (saling menghormati) dan tidak harus tasydiq.

‘’Awak dewe itu cukup menghargai, tidak harus meyakini,’’ ungkap Gus Yusuf.

blank
Gus Yusuf memberi sambutan pada Festival Toleransi. (Dok)

Pengasuh Ponpes API Tegalrejo itu menceritakan, dirinya belum lama dari Kudus. Menurutnya, Kudus merupakan kota toleransi. Karena Kudus terkenal dengan soto, dan soto Kudus merupakan soto toleransi yang mempunyai sejarah panjang.

Soto kudus yang asli dagingnya bukan sapi tapi kerbau. Karena Sunan Kudus tahu bahwa sapi merupakan hewan suci bagi umat Hindu. Maka yang paling dikedepankan adalah saling mengormati. Dampaknya di Kudus masyarakat hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Sementara Banthe Ditthisampa dalam pidatonya menjelaskan tentang kerukunan dalam perspektif Agama Buddha.

Dia mengemukakan, Festival Toleransi digelar untuk menghayati satu kedamaian di Indonesia, khususnya di Magelang. Karena kita hidup di Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.

Dalam ajarannya arti cinta kasih yang universal adalah sebagai pelindung dunia. Karena dengan memiliki cinta kasih secara otomatis akan menghilangkan kebencian maupun ketidaksenangan.

Maka dalam Buddha juga sering diucapkan ‘Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta’ atau semoga semua makhluk berbahagia,’’ pungkasnya.

Bonaventura Bosrianto, dari Katolik juga menggambarkan situasi masyarakat di sekitarnya. Gambaran pertama, dalam satu keluarga ada bapak dan ibu, belum punya anak. Bapak yang jelas makannya banyak. Tapi tentang pakaian cuma sedikit.

Sebaliknya ibu makannya sedikit tapi kebutuhnnya banyak. Tapi dalam satu keluarga itu tidak menjadi masalah, karena keduanya saling pengertian dan saling memahami.

Gambaran kedua, kita hidup itu mempunyai panca indra. Panca indra itu kerjanya berbeda-beda. Misalnya mata untuk melihat, telinga untuk mendengarkan. Hidung untuk mencium, lidah untuk merasa, kulit itu rasa.

Lima-limanya berbeda, tetapi dengan otak disuruh bersama. Latarbelakang keluarganya juga beragam agama. Saudara kandungnya ada yang Islam dan Kristen.

Pendeta Gledis Angelita, dari Kristen mengibaratkan sebuah kue lapis. Di mana kue lapis jika dilihat warna-warni. Jarang sekali atau bahkan tidak ada kue lapis hanya satu warna. Itu juga menggambarkan sebuah keragaman dalam kehidupan.

Gledis juga mengajak kepada masyarakat untuk hidup rukun. Momentum Festival Toleransi tersebut penting untuk diperluas, agar masyarakat hidup rukun dan damai.

‘’Maka jadilah seperti kue lapis tadi. Kalau bersama rukun, guyup, maka rasanya enak,’’ ajaknya.

Selain dihadiri para tokoh lintas agama, acara Festival Toleransi juga dihadiri Prof Abu Rochmad dari Kementerian Agama.

Prof Abu mengajak masyarakat untuk hidup bedampingan, dan yang terpenting adalah kerukunan.

‘’Pokoke sampean niku rukun. Kalau kita tidak rukun maka tidak bisa bertemu, dan tidak mudah untuk bertegur sapa. Intinya, jelas toleransi, rukun ini menjadi hal yang maslahat bagi kita semua. Pokoknya semua hal yang baik-baik pasti di dukung kitab suci,’’ ungkapnya.

Doddy Ardjono