JEPARA (SUARABARU.ID) – Dalam rangka memperingati sedekah bumi desa ke-20, Pemerintah Desa Banjaragung menggelar diskusi dan bedah buku, Jumat (16/9) pagi. Acara dilaksanakan di balai desa setempat.
Buku yang berjudul “Membaca Banjaragung” berisi tentang sejarah berdirinya desa. buku tersebut ditulis oleh M. Dalhar warga setempat yang juga sebagai Ketua Forum Pemuda Pelestari Budaya dan Sejarah (FPPBS) Jepara.
Buku tersebut terdiri atas empat bagian, antara lain: sejarah desa, tokoh desa, lembaga sosial, dan memoar. “Buku ini ditulis dalam rangka peringatan hari jadi atau yang juga disebut sebagai sedekah bumi ke-20,” jelas Dalhar dihadapan puluhan peserta diskusi.
Yang menarik, diskusi tersebut dihadiri para pejabat pemerintah setempat, RT dan RW serta para pelaku sejarah berdirinya Desa Banjaragung. Dalam sambutannya, Sholihan sebagai Petinggi Banjaragung menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat.
Sebagai pemateri yang pertama, M. Dalhar menyampaikan sedikit latar belakang sejarah penulisan buku “Membaca Banjaragung”. Dijelaskan bahwa momentum 20 tahun adalah motivasi terbesarnya untuk menyelesaikan bukunya. Ia mengakui bahwa masih ada banyak kekurangan di dalamnya. “Dengan kekurangan yang ada, diharapkan lima atau sepuluh tahun kemudian akan lahir buku lainnya dari generasi muda di Banjaragung,” katanya.
Selanjutnya, materi disampaikan oleh Hamidun Bleho. Ia adalah ketua Gerakan Masyarakat Banjaran Utara (Gembara). Organisasi ini adalah wadah menampung aspirasi masyarakat untuk menghimpun potensi masyarakat untuk membentuk desa baru.
Hamidun banyak menyampaikan pengalamannya bersama dengan tim dalam membentuk desa baru. Dalam pemberian nama, ia bersama tim Gemabara meminta pertimbangan kepada para kiai di Dukuh Klumo. “Pakai nama Banjaragung, biar agung desanya,” kata mbah Afif Zubaidi sebagaimana ditirukan Hamidun.
Anggota DPRD Jepara, H. Sunarto yang juga menjadi pengurus Gemabara menyampaikan tentang lika-liku perjuangan pembentukan desa. Ia merasakan ada banyak rintangan dari pihak-pihak yang tidak menginginkan terbentuknya desa baru. Sampai-sampai di satu dukuh dilaksanakan jajak pendapat (kiam) untuk menentukan statusnya. “Diadakan pemilihan lokal untuk menentukan ikut di desa baru atau yang lama,” jelasnya.
Dalam hal pemilihan petinggi sementara desa yang baru, Sunarto menjelaskan bahwa dilakukan dengan diundi. “Yang keluar pertama sebagai petinggi, dan kedua sebagai carik,” katanya diikuti tawa dan aplaus dari para peserta bedah buku.
Sutarno sebagai pembicara berikutnya menyampaikan pengalamannya selama menjabat sebagai pejabat sementara (PJs) Petinggi. Gedung pemerintahan menjadi salah satu persyaratan dikabulkannya permohonan kepada pemerintah. “Alhamdulillah terdapat gedung SD yang sudah tidak dipakai. Gedung tersebut dipergunakan sebagai balaidesa sampai sekarang,” paparnya.
Sejumlah dokumen dibawa Sutarno untuk memperkuat bahwa pada waktu itu memang perjuangan. Dana yang terbatas tidak menjadi hambatan yang berarti dalam menjalankan roda pemerintahan.
Penyampaian terakhir disampaikan oleh budayawan sekaligus penulis buku Jepara, Hadi Priyanto. Ia menyampaikan apresiasinya karena ada buku yang diterbitkan oleh pemerintah desa. Dari sejarah yang disampaikan, ada kearifan yang didapatkan. “Harapannya, dengan sejarah, masyarakat dapat menggali kearifan dan semakin cinta dengan desanya yang merupakan bagian dari cinta bangsa dan Negara,” paparnya.
Sesi berikutnya adalah diskusi atau tanya jawab. Pada sesi ini ada beberapa pertanyaan kritis dari para peserta, utamanya pelaku sejarah dan RT serta RW. Beberapa diantaranya mengharapkan agar buku dicetak dan dibagikan kepada masyarakat dan sekolah agar memahami desa Banjaragung.
Hadepe -Dalhar