blank
Rektor USM, Dr Supari ST MT saat membuka Diskusi Hukum yang digelar Progdi Pascasarjana Magister Hukum USm pada Sabtu (27/8/2022).

SEMARANG (SUARABARU.ID)- Demonstrasi atau unjuk rasa terjadi karena ada gap/kesenjangan antara kenyataan dan harapan yang tidak sinkron. Hal itu biasanya terkait kebijakan pemerintah. Unjuk rasa diperbolehkan karena dijamin Undang-Undang.

Hal itu diungkapkan Direktur Pascasarjana IPDN, Prof Dr H Wirman Sjahri MSi dalam Diskusi Hukum yang digelar Progdi Magister Hukum Universitas Semarang (USM) pada Sabtu (27/8/2022) secara luring dan daring.

Kegiatan yang dibuka Rektor USM, Dr Supari ST MT tersebut menghadirkan narasumber Direktur Pascasarjana IPDN, Prof Dr H Wirman Sjahri MSi, Gubernur Lemhanas R yang diwakili Dr Ninik Rahayu, dan Kapolda Jawa Tengah yang diwakili AKBP Siti Rodhiyah MKes.

Hadir dalam kegiatan tersebut Ketua Badan Pembina Yayasan Alumni Undip, Prof Dr Sudharto P Hadi MES, Direktur Pascasarjana USM, Dr Indarto MM.

Sebagai penanggap adalah Prof Dr Ir Kesi Widjajanti SE MM dan Dr Mulya Virgonita I Winta SPsi MPsi Psikolog.

Menurut Wirman, dari segi administrasi publik, setiap
kebijakan adalah produk politik, sehingga kebijakan tersebut pasti akan memihak yang memiliki kepentingan.

”Unjuk rasa itu bisa juga terjadi karena ada kebijakan yang baik tapi tidak bisa dilaksanakan secara baik. Artinya, antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan tidak nyambung, sehingga terjadi unjuk rasa,” ungkap pakar administrasi publik.

Dia mengatakan, unjuk rasa itu mengekspresikan kehendak tuntutan masyarakat supaya didengar oleh pemerintah yang dianggap tidak menguntungkan mereka.

”Unjuk rasa juga memiliki manfaat. Pertama, sebagai sarana untuk menyampaikan ide-ide. Saat unjuk rasa kan ada orasi, gagasan-gagasan, pokok-pokok pikiran di ruang terbuka dalam rangka memperbaiki kebijakan-kebijakan yang belum berjalan secara baik,” tutrnya.

Tujuan demonstrasi, katanya, adalah untuk melakukan perubahan kebijakan yang disampaikan di ruang terbuka. Artinya, jika ada kebijakan yang tidak baik maka harus dilakukan perbaikan.

”Namun harus dipahami bahwa unjuk rasa itu ada aturannya yaitu hukum. Hukum itu pedoman perilaku yang harus ditaati. Secara detail ada kewajiban pengunjuk rasa yang harus ditaati,” ujarnya.

Yang menarik, lanjutnya, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998, mengatur sanki. Pertama, pihak keamanan tidak boleh melarang unjuk rasa, sehingga harus diizinkan. Kedua, ada tambahan hukuman bagi pelanggar sesuai aturan yang berlaku.

”Kalau pengunjuk rasa mematuhi aturan,makan tidak akan terjadi unjuk rasa yang anarkis,” tandasnya.

Sementara itu, Dr Ninik Rahayu dari Lemhanas RI memaparkan materi dalam konteks ketahanan nasional. Menurutnya, Indonesia adalah negara hukum yang menganut demokrasi Pancasila, maka setiap unjuk rasa harus menaati aturan yang berlaku.

”Demonstrasi sebagai instrumen kontrol kepada kebijakan pemerintah. Demonstrasi adalah hak warga, tentu seusai aturan yang berlaku yang dijamin UU,” katanya.

Dia mengatakan, demonstrasi mmenjadi media alterbatif untuk menyapaikan gagasan atau kepentingan. Demonstrasi punya fungsi sosial dan poltik, tapi harus dihindari sikap anarkis, karena tidak sesuai demokrasi.

”Demonstrasi juga punya kerentanan yang dapat mengancam ketahanan nasional,” ujarnya.

Menurutnya, kebebasan sipil ada 5 yaktu kebebasan berpikir, berpendapat, berkumpul, beragama, dan kebebasan pers.

”Demokrasi sipil menjamin hak warga negara untuk menyalurkan aspirasinya. Kalau demonstrasi di ruang terbuka rawan anarkis, maka bisa dilakukan di ruang kampus. Maka kami pernah minta Mendukbid jangan melarang mahasiswa unjuk rasa,” tuturnya.

Model demonstrasi, katanya, tidak hanya dengan menyampaikan pendapat, tapi bisa juga dengan cara lain seperti dengan cara membisu. ”Sanksi bagi pihak yang menghalangi demonstrasi warga yang sudah memenuhi persyarakat maka dapat dipidana hingga 1 tahun,” jelasnya.

Selama memberikan pengamanan unjuk rasa, katanya, polri dilarang melakukan kekerasan dan membawa senjata. Polri harus melindiungi dan mengayoni warga yang melakukan unjuk rasa.

Hal senada dikatakan AKBP Siti Rodhiyah MKes yang menjadi narasumber ketiha. Menurutnya, penyampaian pendapaat di umum adalah hak warga negara. Pelayanan dalam pengendalian massa, baik yang dilakukan tertib maupun tidak tertib dilakuksankaan secara tegas.

”Unjuk rasa, ada tiga kondisi yang kemungkinan terjadi. Pertama, kondisi tertib atau kondisi hijau yang penanganannya ada di pihak polsek. Kedua, kondisi tidak tertib (kondisi kuning) yang kendalinya ada di kapolres. Ketiga, situasi anarkis (kondisi merah) yang kendalinya kapolda,” kanya.

Dia mengatakan, menurut protab Kapolri soal penanggulangan anarkis, kepolisian akan menghentikan tindakan anarkis dengan pertimbangan ada upaya gerakan yang mengancam jiwa raga, harta benda untuk mnciptakan ketertiban umum.

”Anarki itu tidakan yang dilakukan sengaja yang bertentangan dengan norma hukum, mengancam keselatan jiwa, harta benda. Maka polisi wajib melakuan tindakan hukum secara tegas dan terukur,” tandasnya.

Menurutnya, saat terjadi unjuk rasa akan muncul ancaman di lapangan yakni ancaman gangguan dan ancaman gangguan nyata.

Ancaman gangguan adalah perbuatan yang belum anarkis seperti membawa ketapel, membawa senjata. Sedangkan ancaman gangguan nyata itu sudah terjadi kondisi anarkis, seperti perkelahian massa, pembakaran, menculik, menjarah, mencuri, dan melawan dan menghina petugas polisi.

”Jadi menghina petugas sudah masuk ancaman nyata,” ujarnya.

Muhaimin