blank
Salah satu perempuan yang berprofesi sebagai pengukir di Jepara yang semakin langka.

JEPARA (SUARABARU.ID)- Deklarasi Hari Ukir Nasional dan lomba ukir yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara pada Sabtu (20/8/2022) kemarin seperti menggairahkan kembali semangat dan optimisme akan masa depan cerah seni ukir di Jepara. Lomba yang diikuti 127 peserta yang terdiri dari 56 pelajar, 25 pengukir perempuan, dan 46 pengukir laki-laki ini bertempat di alun-alun Jepara sebagai rangkaian Festival Jepara Bangkit 2022.

blank
Dua perempuan yang berprofesi sebagai pengukir. Bu Wartinah dan Bu Muskamah.

Meskipun Jepara dikenal sebagai “The World Carving Center”, namun optimisme para pekerja ukir di Jepara masih dibayang-bayangi persoalan klasik terkait kesejahteraan mereka. Sepinya industri mebel di Jepara, kecilnya upah pekerja ukir, hingga mandegnya generasi pengukir yang lebih memilih bekerja di pabrik maupun di gudang.

Salah satu pengukir perempuan yang berhasil diwawancarai suarabaru.id mengaku, acara ceremony tentang pelestarian seni ukir di Jepara seringkali tidak ada tindak lanjut dari para pemangku kebijakan. Hanya sekedar formalitas, bahkan keterlibatan para pengukir hanya sebagai pelengkap acara.

blank
Para pengukir perempuan di acara work shop.

Muskamah, warga Desa Tahunan, Tendoksari, Kabupaten Jepara, adalah salah satu dari sedikit perempuan Jepara yang berprofesi sebagai pengukir. Tiap hari dirinya bekerja dari satu brak ke brak lainnya untuk mengukir dari salah satu pengrajin mebel. Kepada suarabaru.id, perempuan 40 tahun ini mengaku menekuni pekerjaan sebagai pengukir sejak lulus Sekolah Dasar (SD).

“Saya sejak SD sudah terbiasa berkumpul dengan para penatah (pengukir). Angger clak-clok mas, sue-sue iso. Saya menekuni dan berprofesi sebagai penatah ya sejak lulus SD, lulus SD langsung nikah, namanya wong ndeso nikah muda sudah biasa”, ujar Muskamah.

“Kerjaan natah sekarang sepi. Sudah sepi, borongannya murah-murah. Ndak bisa dipastikan. Kalau untuk kebutuhan sehari-hari alhamdulillah masih cukup. Tapi kalau untuk biaya sekolah anak, ya masih kurang mas”, terang Ibu dua anak ini.

Lebih lanjut Muskamah mengatakan, profesi sebagai pengukir dilakonninya untuk membantu suami yang juga mempunyai profesi yang sama. Karena, kalau hanya mengandalkan suami, Muskamah mengaku penghasilan mengukir saat ini tidak bisa diandalkan. Ungkap ibu dua anak ini yang sehari-harinya dijalani sebagai pengukir dan ibu rumah tangga. Muskamah berharap pemerintah serius untuk mengangkat kembali seni ukir di Jepara, bukan hanya sekedar ceremony.

Seperti diberitakan oleh suarabaru.id sebelumnya, ditetapkannya tanggal 20 Agustus sebagai hari ukir mengacu dari momentum keikutsertaan RA. Kartini dalam pameran karya perempuan di Belanda pada tanggal 9 Juli- 21 September 1898 di Den Haag Belanda.

ua