blank
ilustrasi. wied

Amir Machmud NS

RESONANSI KEMERDEKAAN

selamat pagi, saudara-saudaraku

pastilah kalian merasakan betapa para pahlawan telah sedemikian gagah menatah sejarah
memerdekakan kita bahkan dengan air mata dan darah

sejarah pulakah yang akan membebaskan dari segala macam ketakutan ketika seharusnya dengan satu rasa satu hati kita mengisi dan menikmati elok keindonesiaan?

siapkah kalian membebaskan hati dari segala serak seremoni pekik merdeka yang belum tentu mewakili hakikat kemerdekaan seperti kita angankan?

bersediakah kau menemukan makna merdeka dengan keikhlasan menepis kungkung primordi tentang ego seakan-akan bebas menindas ego-ego lain di sekitarmu?

sanggupkah kau merasuk ke dalam satu perasaan tentang keindonesiaan tanpa menepikan elemen apa pun yang berhak hadir, tumbuh, bersenyawa, dan hidup di antara kita?

cukup beningkah mata hatimu menerima kenyataan tentang sunnatullah: keberagaman yang tak tersekat oleh pikiran kekuasaan seolah-olah semestamu yang paling bermakna dan paling mengindonesia?

siapa yang berhak menikmati kemerdekaan: langit Indonesia, gunung-gunung Indonesia, hutan rimba Indonesia, laut Indonesia, sungai-sungai Indonesia, sumber-sumber alam dan segala macam manusianya; tak cukupkah termerdekakan dari naluri kerakusan dan seharusnya kita terikat kata sakti sebagai pernyataan menjaga dan bukan menguasainya?

terniatkankah kalian memahami hakikat merdeka tak hanya dari seremoni dan pekik-pekik lantang pada setiap tahun kita memeringatinya?

kapankah kita sampai pada garis penepis ketakutan tentang merdeka berbicara, merdeka dari runyam pertunjukan kekuasaan yang membahana? Pun merdeka dari nyinyir genit para buzzer dan influenser?

maukah kalian? Maukah mencahayai hati, pikiran, dan perasaan dari culas dorongan menjadi entitas yang mendominasi? Yang merasa kebhinekaan hanya milik tafsir mereka sendiri, dan sejuta kekurangan tertuding melekat pada entitas yang tak kalian sukai?

siapkah kau memerdekakan hati saudara-saudaramu dari terpa perasaan seolah-olah terpojokkan oleh tindasan stigmatisasi? Siapkah kau urai cencang generalisasi tentang fobia-fobia yang mematikan akal sehat bangsa?

saudara-saudaraku, merdekakan batinmu
jadikan mantera itu sesejuk bening yang mencahayai semesta
kita ingin menjadi bagian dari penatah sejarah indah bukan?
(16-08-2022)

Amir Machmud NS

 

SUATU SIANG DI PECINAN SUATU SORE DI KAUMAN

(suatu siang di pecinan)

katakan apa sajalah tentang aku
tentang kami yang berkulit putih dan bermata sipit
sampai kapan kalian melihat kami berbeda?

aku pun seperti kalian
memasang gagah umbul-umbul dan bendera kebangsaan
merias pernak-pernik hari kemerdekaan
seperti kalian menyambutnya
pekik kami tak kalah lantang bukan?

hingga tujuh puluh tujuh tahun
yang moyang kami pun ikut berjuang
tak juga merasukkah kami dalam senyawa kebinekaan?
tak terlebur jugakah kami dalam jiwa keberagaman?

(suatu sore di kauman)

katakan apa sajalah tentang aku
terbayangkankah betapa sakit kau beri label yang berbeda
menjadi simbol stigmatisasi?

lewatlah di gang-gang yang kami tinggali
apa bedanya dari mereka yang merasa memiliki
bahagia hari merdeka
yang kakek-buyut kami pun ikut memberi arti

hingga tujuh puluh tujuh tahun
tak juga tersatukankah kami dalam simfoni keindonesiaan?
tak juga rekatkah dalam adonan yang dipandang berbeda?

jiwa-jiwa kami rindu merdeka dari virus diskriminasi
pikiran-pikiran kami ingin bebas dari jahat politik aliran
kami manusia-manusia dalam angan lepas dari belenggu sekat menyakitkan

di gang-gang pecinan, siang itu
di rumah-rumah kauman, sore itu
kuat kurasakan denyut kemerdekaan
hangat kuserap syahdu kebinekaan.
(16-08-2022)

blank
Amir Machmud NS, Ketua PWI Provinsi Jateng. Foto: Dok AM

Amir Machmud NS, penulis buku kumpulan puisi “Percakapan dengan Candi” dan “Dari Peradaban Gunadharma”