“Contohnya Pak Jokowi memberikan anggaran terhadap desa. Sedangkan living ideologi yaitu Pancasila dihayati dalam keseharian. Dahulu anak terbiasa dengan permainan tradisional tapi sekarang dikuasai oleh gadget. Maka seyogyanya kembalikan pendidikan keluarga itu karena penting,” ujar ahli kmunikasi politik ini.
Benny mengajak menghidupkan tradisi lokal untuk melawan radikalisme, budayakan kritik yang positif untuk membedakan mana yang baik dan buruk dalam media sosial. “Manusia hanya satu dimensi yaitu mekanis teknologi, pendidikan literasi digital harus masuk ke dalam pendidikan. Literasi digital juga harus masuk dalam keluarga maupun dalam praperkawinan,” kata Benny.
Senada dengan itu Alysa Wahid menyatakan bahwa Indonesia masih menjadi barometer kerukunan dunia dan selalu mendapatkan aspirasi positif dan menjadi model bagi kerukunan umat beragama.
Namun, kata putri Gus Dur ini, persoalan akhir-akhir ini yaitu maraknya intoleransi, radikalisme, fundamentalisme dan kekerasan berdarah. “Agama itu menjadi catatan kita bersama bagi elemen bangsa untuk lebih waspada serta lebih meningkatkan kewaspadaan dalam menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara karena ada indikasi praktik intoleransi itu mulai berkembang (menyebar) di elemen masyarakat,” kata Alysa.
Dengan maraknya media sosial yang kerap kali mengangkat isu isu toleransi, tambah Alysa, radikalisme fundamental isme menjadi konten-konten di media sosial yang mempengaruhi pola pikir anak-anak generasi muda sekarang akibatnya masyarakat mudah terprovokasi.
Alysa menyatakan, kita ada di posisi yang nyaman, kita tidak bisa melihat bangsa Indonesia seperti potret tapi harus melihat sesuai dengan vidio. Ancaman terorisme muncul ketika tradisi dibenturkan dengan faham keagamaan.
“Model beragama ada dua yaitu yang meyakini agama yang dianutnya benar atau ekslusif formalistik dan yang substantif inklusi merangkul keseluruhan. Riset membuktikan tahun 2020 mayoritas kecenderungan paham radikalisme ini cenderung ke perempuan,” kata dia.
Satu karena itu lewat media sosial, perempuan berinteraksi dengan sosial Communications lebih kuat ketika dalam percakapan ada leader maka dia akan dipengaruhi. Di budaya barat ada kristofasisme dan white supremacy. Kita jangan sampai terjebak menyatakan bahwa mayoritas itu paling benar.
“Kalau saya belajar jika kita melakukan perubahan berkesinambungan harus ada empat dimensi yang dipengaruhi yaitu dimensi kebijakan yaitu penyelenggara kebijakan publik yang tidak diskriminatif, kedua perilaku akar rumputnya yaitu bagaimana cara orang tua mengenal putra putrinya maka harus diajarkan pendidikan dan pelatihan antiterorisme, yang ketiga adalah pendekatan agama dan keempat adalah kekuatan masyarakat sipil,” ujar Alysa.
Proses Panjang
Selanjutnya psikolog Dr Arijani Laksmawati M.Psi menyatakan, proses radikalisasi berujung teror itu bukan sebuah proses yang sebentar tapi proses panjang sekali. Dalam penelitian remaja yang terpapar radikalisasi ada tahapan preradikalsm.
Ini membuat semua orang yang terkena terpaan berita di sosmed akan terkena paham radikal akibat munculnya berita berulang. Munculnya keinginan untuk eksistensi di masyarakat mendorong anak remaja terpapar paham radikalisme.
“Salah satu tanda munculnya adalah suka mengkritisi aturan baik di rumah maupun di negara. Mereka sedang menguji pemikirannya di luar bagaimana mereka bisa diakui dalam tataran lebih luas,” kata Arijani.
Hal itu kalau kita lihat menjadi sangat rentan bagi ideologi radikal untuk masuk. Jika ini dibiarkan maka akan memunculkan generasi kemartiran yang mereka bisa bergerak sendiri karena panggilan dalam hati dan tanpa jaringan.
“Sadar tidak sadar agen ini mengkonstruksi ekslutivitas agar generasi muda memiliki cara berpikir seperti itu dengan membeda bedakan agama. Formula paling tepat adalah ketika membentuk perisai benteng ancaman radikalsime yang berawal dari ketidakmampuan permasalahan keberagaman, perilaku enklusif harus melibatkan kita semua terutama dalam menggalakan kegiatan positif ke depannya,” ujar Arijani.
wied