Oleh: Abdullah Hamid
KECAMATAN Lasem di Kabupaten Rembang akan menentukan hari jadinya. Di bawah ini, hasil inventarisasi tonggak sejarah penting, yang dapat menjadi pilihan momentum untuk menentukan kapan hari istimewa itu.
1. Penemuan Perahu Kuno Punjulharjo
Berdasarkan penanggalan yang diperoleh dari analisis radiokarbon terhadap sampel tali ijuk pengikat papan perahu, menunjukkan kalibrasi antara 660-780, atau sekitar abad ke-7 dan ke-8 Masehi.
Perahu Kuno Punjulharjo telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya tingkat Nasional, berdasarkan SK Mendikbud No. PM.57/PW.007/MKP/2010 Tanggal 22 Juni 2022. Penemuan perahu kuno ini, membuktikan masa itu Indonesia telah memiliki peradaban tinggi.
Menariknya, masa itu sezaman dengan berkembangnya Kerajaan Besar Pucangsula, yang berlokasi di Lasem, yang disebutkan di Buku Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung. Dahulu wilayah kerajaannya dikenal sangat luas hingga Kalingga, sekitar tahun 674 M.
2. Penamaan Banjar Lasem Tahun 882 M
Pada tahun 882 M pertama kali penamaan Lasem. Waktu itu baru setingkat banjar atau kekuwuan. Setelah beberapa lama, Kerajaan Pucangsula hancur lebur oleh bencana alam, akibat meletusnya Gunung Muria, yang ikut memporakporandakan Gunung Argasoka.
Pada abad ke-9, sebagian penduduk yang berada di pegunungan Criwik mulai turun gunung, menempati daerah-daerah lembah yang subur dan banyak sumber airnya, di sekitar Bugel dan Karasgede.
Mereka mulai membuka lahan dan bertani, serta membuat kerajinan perkakas dan alat-alat rumah tangga dari gerabah dan besi. Daerah lembah itu kian lama kian ramai, dan kemudian menjadi sebuah banjar yang dipimpin Ki Rangga Widyabadra.
Banjar baru itu diberi nama Lasem. Dengan tarikh saka candrasengkala “akarya kumbuling manggala“, yang jika diangkakan menjadi, akarya: 4, kumbuling: 0, manggala: 8. Dan dibalik menjadi 804 saka atau 882 M.
3. Bathara Saptha Prabu tahun 1273 Saka/1351 M
Batara Saptha Prabu atau Piagam Singasari ini, berisi tentang penobatan atau pengangkatan Prabu Hayam Wuruk sebagai Raja ke-4 Majapahit, sekaligus pelantikan 11 raja di negeri-negeri vassal (negara agung), yang menyertai imperium Majapahit. Dan Kerajaan Lasem merupakan salah satu dari 11 negara agung yang termaktub di dalamnya.
Dua naskah kuno mencatat peristiwa penting itu, yaitu Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada abad 14, dan Kitab Pararaton yang ditulis pada abad 15 dan 16.
4. Berdirinya Kadipaten Binangun di Lasem tahun 1391 Saka/1469 M
Seiring memudarnya pengaruh Majapahit di negara-negara vasal, berdiri Kadipaten Lasem yang independen, di bawah pimpinan Adipati Wira Bajra pada tahun 1469 M. Memiliki Pelabuhan Regol yang ramai dikunjungi saudagar Arab dan Cina.
Setelah Wira Bajra wafat, digantikan puteranya yang pernah nyantri di Ampel Denta, yaitu Adipati Wira Negara, menantu Sunan Ampel. Wira Negara menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan.
Untuk memperluas syiar dakwah dan pendidikan Islam, dia memanggil adik iparnya, yaitu Sunan Bonang untuk bertugas di Lasem.
Setelah Wira Negara wafat, digantikan istrinya yaitu Nyai Ageng Maloka, yang kemudian memindahkan pusat kadipaten, dengan membangun keraton di Cologawak, Soditan. Kraton Binangun di Bonang diberikan kepada adiknya, yaitu Sunan Bonang, untuk dipergunakan kegiatan pesantren. (Sumber: Carita Lasem yang ditulis oleh Raden Kamzah pada tahun 1858 M).
Menariknya, sampai sekarang komplek keraton itu masih bisa disaksikan bekasnya sampai sekarang. Dan memiliki bukti arkeologis cagar budaya yang khas.
5. Kadipaten Lasem era Tejakusuma I atau Mbah Srimpet Tahun 1585 M
Tejakusuma I adalah Adipati Lasem yang diangkat oleh Sultan Hadiwijaya Sultan Pajang, pada tahun 1585 M, yang juga merupakan menantu dari Sultan Hadiwijaya.
Mbah Srimpet membangun Puri Kadipaten sebagai simbol pemerintahan, Masjid Jami Lasem (bersama Mbah Sambu), sebagai simbol spiritual kegamaan, Alun-alun Lasem sebagai ruang publik (simbol adanya rakyat), dan pasar sebagai simbol kekuatan ekonomi, dalam satu kawasan terpadu di pusat kota.
Konsep dasar tata kota Lasem itu, oleh Mbah Srimpet menjadi model tata kota Mataraman, menjadi landscape tata kota abadi yang dapat dinikmati perkembangan morfologi kotanya hingga sekarang.
6. Perang Sabil Lasem melawan penjajah Belanda pada tahun 1750 M
Kisah heroik (diceritakan dalam bahasa Jawa), pada tahun 1750, dimulai wong-wong padha gumruduk ngumpul jejel pipit ing alun-alun sangarepe Mesjid Jami Lasem, padha sumpah prasetya maring RP Margono, lega lilla sabaya pati sukung raga lan nyawa ngrabasa nyirnakake kumpeni walanda ing bhumi jawa.
…Ing wektu kuwi kebeneran tiba dina jumuwah wayahe santri-santri sembahyang jumuwahan, kang diimami Kyai Ali Baidlawi ing purikawak, kyai ngulama Islam kang bagus rupane gedhe dhuwur gagah prekosa kuwi kapernah warenge Pangeran Tejakusuma I. Sawise wingi-wingine entuk dhawuhe RP Margana, sarampungi sembahyang jumuwah Kyai Ali Baidlawi nuli wewara maring kabeh umat Islam, dijak perang sabil ngrabasa nyirnakake kumpeni Walanda, sapunggawane kabeh ing Rembang. Wong-wong samesjid padha saguh kanthi eklas, saur manuk sarujuk perang sabil bebarengan kambi brandal-brandal kang padha andher…”
Arti penting peristiwa bersejarah itu yakni, merupakan simbol kepahlawanan dan persatuan (pluralitas) di Lasem, antara kalangan Tionghoa, santri, bangsawan dan abangan yang perlu diabadikan, diwariskan kepada anak cucu.
Cukup menarik membaca Babad Carita Lasem ini, yang mengisahkan peranan mereka yaitu RP Margono, Oei Ing Kiat dan Kyai Ali Baidlowi/Ki Joyo
Tirto serta kedahsyatan perang itu, yang menyebutkan terjadi pada hari Jumat Bulan Agustus Tahun 1750 M. Jika mengaca Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pada hari Jumat Legi, diperkirakan hari yang baik itu juga terjadi pada Jumat Legi, yang jatuh pada tanggal 14 Agustus 1750 M.
Demikian tonggak sejarah penting di Lasem yang dapat diinventarisasikan dari berbagai sumber. Antara lain pengantar FGD Menentukan Hari Jadi Lasem di Pendapa Tejokusuman, dalam Rangkaian Haul Mbah Sambu. Dan catatan penulis di sambua.wordpress.com.
Sekarang kembali ke masyarakat Lasem, akan menentukan Hari Jadi Lasem kapan?
— Abdullah Hamid, Pustakawan STAI Al-Hidayat Lasem —