blank
Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda,Bogor, Sudiman Sihotang. Foto: Humas UNS

SURAKARTA (SUARABARU.ID) – Substansi hukum Rumah Susun (Rusun) di Indonesia belum mencerminkan asas kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak konsumen. Kondisi demikian mengakibatkan banyaknya benturan kepentingan antar-stakeholders, yaitu developer, end-user, pembeli, dan building management yang merugikan konsumen atau penghuni rusun.

Hal itu disampaikan Sudiman Sihotang, dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor, yang mengungkapkan hasil penelitiannya, usai ujian terbuka promosi doktor bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH-UNS) Surakarta, Selasa (19/7/2022).

“Saat ini diperlukan pengembangan model badan hukum terhadap rumah susun, untuk memberikan penguatan kedudukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Adanya payung hukum tersebut pemilik punya posisi tawar. Hal itu bisa dibuktikan  adanya penegasan beberapa fungsi PPPSRS dalam UU Nomor 20 tahun 2011 tentang rumah susun,” kata Sudiman Sihotang.

Disebutkan, dalam pasal 74 ayat (1) undang-undang rumah susun, lanjut Sudiman Sihotang, ditentukan bahwa pembentukan PPPSRS merupakan kewajiban pemilik satuan rumah susun yaitu dengan fasilitasi pengembang atau developer.

Adanya ketentuan tersebut, maka undang-undang rumah susun meletakkan tanggung jawab pembentukan PPPSRS kepada pengembang atau pemilik satuan rumah susun.

Dalam dalam penelitian yang dilakukan terhadap 314 rumah susun di wilayah DKI Jakarta, ditemukan sebanyak 132 kawasan rumah susun belum ada PPPSRS-nya.

”Sehingga dapat dikatakan mayoritas developer mendirikan PPPSRS dengan versinya sendiri.Hal demikian bisa dikatakan sebagai penyelundupan hukum dengan memasang nama orang lain  sebagai pemilik satuan rumah susun,” kata Sudiman.

Ada kelemahan mandatori dalam pembentukan PPPSRS, karena dalam penerapan sanksi administratif kepada pemilik satuan rumah susun terjadi konflik kepentingan.

Selain itu, pengawasan pemerintah terhadap developer sebagaimana peraturan perundang-undangan juga lemah dan abai sehingga merugikan pembeli.

Perlu diingat, pengelolaan rumah susun berkelanjutan dapat diwujudkan dengan turut sertanya pemerintah mengatasi kemelut yang berkepanjangan dan menyadari adanya lingkaran setan di proyek -proyek rumah susun.

“Ada skenario terencana untuk menggagalkan berdirinya PPPSRS sebagai badan hukum dan terjadi sejak Undang-Undang Rumah Susun Nomor 16 diundangkan pertama kali tahun 1985. Ada praktik tidak menyelesaikan penjualan secara tuntas, sehingga penyerahan sertifikat hak komunal rumah susun tidak pernah terjadi. Hal itu karena PPPSRS masih dikuasai developer,” kata Sudiman Sihotang.

Pada disertasi  berjudul “Model Pengembangan Pembentukan Badan Hukum Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun dengan Optimalisasi Hukum untuk Pengelolaan Rumah Susun yang Berkelanjutan” juga dikemukakan ada praktik tidak menyelesaikan penjualan secara tuntas.

“Sehingga penyerahan sertifikat hak komunal rumah susun tidak pernah terjadi. Hal itu karena PPPSRS masih dikuasai developer. Kasus semacam itu  terjadi di banyak tempat sehingga berdampak kepada terkendalanya perpanjangan sertifikat hak komunal ke atas nama PPPSRS,” Sudiman.

 Bagus Adji