blank
Ilustrasi/Kompas TV

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Dua hal  ini seratus persen dikenal oleh siapa pun,  yaitu satu mie instan dan dua makam atau kuburan.  Eh…, adakah yang tidak mengenalnya?

Hanya dalam hitungan menit saja, sajian mie instan akan segera Anda nikmati, padahal proses yang berlangsung di pabriknya sana,  tentu membutuhkan waktu berjam-jam, bukan hanya menit untuk menghasilkan produk mie yang siap saji sehingga disebut mie instan.

Dalam mengukur keberhasilan atau kegagalan suatu tindakan atau kebijakan, banyak orang menggunakan sajian mie instan sebagai alat ukurnya. Pagi bertindak atau mengambil kebijakan, sore sudah diukur apakah tindakan atau kebijakan itu berhasil atau gagal.

Padahal, membuat tempe saja membutuhkan proses  minimal duabelas jam untuk akhirnya dapat diketahui apakah tempe yang diharapkan itu benar-benar terwujud atau gagal karena suatu sebab.

Para “penganut” alat ukur mie instan tentu punya alasan untuk berkilah, misalnya, kemarin kan sudah mendamaikan pasangan suami istri (pasutri) Totok dan Titik yang beberapa lama bertengkar; mengapa hari ini Titik belum juga move on. Gagal dong misi damaimu.

Baca Juga: Indikator Pemimpin Hebat: Bekerja Kemput, Komplet, Mumpuni lan Mrantasi

Penganut alat ukur mie instan itu lurus-lurus saja (naïf?) berpikir, apa sulitnya move on, hai Titik, padahal suamimu Totok sudah cengengesan tuh.  (Komentar orang sebelah, enak dan gampang aja ngomong begitu,  coba saja Totok dan Titik itu Anda  dengan pasanganmu, segampang menuang air panas di gelas mie instankah untuk damaimu …hayo?).

Ora Jaman, Ora Makam

Peribahasa ini melukiskan betapa kematian itu suatu keniscayaan dan makam (kuburan) adalah kebutuhan yang niscaya diperlukan. Keniscayaan ini sama persis dengan adanya  jaman (dalam bahasa Indonesia lazimnya ditulis zaman) dalam sejarah kehidupan manusia.

Seperti kita ketahui, jaman itu adalah wektu utawa mangsa sing suwe, bahkan bisa juga berarti abad. Dan lewat jaman itulah manusia niscaya hidup karena tidak mungkin manusia hidup di luar jaman.

Peribahasa ora jaman, ora makam memiliki dua makna, pertama, ora miturut kalumrahaning akeh; yakni (selalu) terjadi di luar apa yang biasanya terjadi. Boleh disebut out of the boxes, karena memang seperti contoh kematian seseorang bukankah selalu di luar apa yang sering dipikirkan khalayak. Arti kedua, ora jaman, ora makam itu ora karuwan, ora cetha asal-usule.

Baca Juga: Semua Pihak Berhitunglah: Pasti Akan Ada yang Jepat, Jebling, Kontal, Mencelat atau Mencolot

Bukankah ada banyak hal yang sering terjadi ketidakjelasan entah asal usulnya atau pun terkait maksudnya. Selalu ada “misteri” dalam kehidupan ini, selalu ada yang tersembunyi dan selalu ada “phak ain” yang berperan penting dalam hidup ini. Itulah karya Illahi.

Peribahasa ini mengajarkan agar melihat gagal atau berhasilnya sesuatu tidak lurus-lurus saja seperti orang membuat mie instan atau tempe tadi. Coba kita bawa ke ranah rumah tangga kita masing-masing, dan kita pertanyakan kepada diri kita sendiri: Saya dan pasangan saya gagal atau berhasil ya, membangun keluarga?

Kalau berhasil, siapa yang paling besar berkontribusi, suamikah atau istrikah? Kalau gagal, siapa paling tidak becus? Sangat tidak adil kalau berhasil sering disebut-sebut jasa suami, sedang kalau gagal sering disebut-sebut karena istri tidak becus.

Damainya pasutri (pasangan suami istri) Totok dan Titik, kendati dimediasi oleh seseorang; tidaklah sertamerta itu berarti berhasil karena jasa si mediator itu. Tidak.

Pasti ada karya Illahi yang berkarya dalam diri Totok, Titik, mediator, dan orang lain lagi sehingga pasutri itu berhasil berdamai lalu kembali berha..ha…-he…he…he…. Inilah makna terdalam ora jaman, ora makam; yakni marilah yakin betapa selalu ada karya Illahi sebagai “pihak lain” sing ora katon nanging sangat maton. Karena itu, hindari sedapat mungkin model alat ukur mie instan,

(Tukiman Tarunasayoga, Pengajar Pascasarjana di UNIKA Soegijapranata, Semarang dan UNS)