blank
Para peserta Wworkshop Gender (Foto: Wafi)

JEPARA (SUARABARU.ID) – Unisnu ingin mewujudkan keadilan berbasis gender di lingkungan perguruan tinggi melalui Workshop Gender dengan menghadirkan narasumber Siti Rofi’ah, M.H., M.Si. dari UIN Walisongo Semarang.

blank
Pemberian suvenir oleh Rektor Unisnu kepada narasumber (Foto: Alvaros).

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Unisnu Jepara secara Hybrid di Ruang Seminar Gedung Pascasarjana Unisnu pada hari Rabu (6/7-2022).

Para peserta yang hadir dalam acara ini yaitu Rektor Unisnu Dr. H. Sa’dullah Assa’idi, M.Ag., Kepala Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Inovasi Drs. Zainul Arifin, M.Hum., Kepala PSGA Santi Andriyani, M.Pd., dan segenap civitas akademika.

blank
Siti Rofi’ah, N.H., M.Si. (Foto: Wafi)

Kepala LPPI Drs. Zainul Arifin MA, M.Hum bahwa perkembangan saat ini permasalahan gender menjadi perbincangan yang menarik. “Melalui workshop ini, harapannya Unisnu menjadi perguruan tinggi yang nyaman bagi para pengguna yaitu para civitas akademika,” harapnya.

Sementara, Rektor Unisnu Jepara Dr. H Sa’dullah Assa’idi, M.Ag. memaparkan mengenai humanity system. “Sistem ini sudah ada di lingkungan kita. Lingkup kecilnya yaitu lingkungan rumah tangga. Ada sisi keadilan diterapkan antara suami dan istri dalam humanity system,” ujarnya sekaligus membuka acara.

Dalam rangka memberikan pemahaman kepada civitas akademika yang ada di perguruan tinggi, para peserta diajak untuk mengenal keadilan gender agar bisa diimplementasikan di lingkungan perguruan tinggi. “Implementasi keadilan gender bisa dilakukan oleh dosen dalam pembelajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, penulisan artikel, dan lain-lain,” ungkap Santi Andriyani Kepala PSGA Unisnu.

Siti Rofi’ah, yang juga Ketua Bidang Penguatan SDM dan Manajemen Pengetahuan Yayasan ELSA, menyampaikan bentuk ketidakadilan gender. “Ada lima bentuk ketidakadilan gender, yaitu subordinasi (menempatkan laki-laki lebih tinggi posisinya daripada perempuan), marginalisasi (peminggiran di ruang publik), stereotype (pelabelan negatif), double burden (beban ganda), dan violence (kekerasan),” paparnya.

Harapannya, kata Siti Rofi’ah, ada peran civitas akademika dalam mewujudkan perguruan tinggi responsif gender. “Ada tiga cara untuk mewujudkan perguruan tinggi yang responsif gender, yaitu dengan melakukan afirmasi (pernyataan positif), insersi (memasukkan materi khusus tentang gender didalam mata kuliah), dan integrasi (memberikan perspektif),” pungkasnya.

Alvaros