Oleh: Amir Machmud NS
// penggawa sakti, inikah jawaban bagi angan berkuasa?/ kami butuh kesatria, katamu/ lalu ia didatangkan/ akankah ia serta-merta membuktikan?//
(Sajak “Erling Haaland”, 2022).
KETIKA Erling Burt Haaland memastikan berlabuh di Stadion Etihad, lengkap sudah syarat Manchester City untuk menjadi tim yang bakal sekejam itu membunuh, dan semengerikan itu menjadi mesin perang.
Striker asal Norwegia yang bertabur gol bersama Borussia Dortmund di Bundesliga itu memang menjadi target buruan klub-klub kaya.
Tak hanya Real Madrid dan Barcelona yang melirik. Manchester United dan Liverpool pun menggadang-gadangnya. Belum pula Paris St Germain yang gemar mengumpulkan bintang. Nyatanya, Haaland memilih The Citizens, yang dalam angan idealistisnya punya magnet utama: Pep Guardiola dan masa depan.
Mirip Kisah Chelsea
Langkah Manchester City, yang terus menumpuk penggawa hebat, mirip kisah Chelsea pada rentang 2004-2012. Ketika itu The Blues adalah markas idaman para pemain yang bertaut ambisi: antara uang dan berburu sukses Eropa.
City merepresentasikan visi besar dengan mendatangkan Pep Guardiola, yang dari kacamata media adalah “coach of the coach”, simbol kejeniusan dan kreativitas meracik taktik bermain.
Kiprahnya bersama Barcelona dan Bayern Muenchen menjadi jaminan untuk mendampingi ambisi Syekh Manshour al-Suleimany dari Abu Dhabi, sang pemilik City.
Sebelumnya, The Citizens diarsiteki pelatih-pelatih dengan reputasi mencorong: Sven-Goran Eriksson, Roberto Mancini, dan Manuel Pellegrini.
Bukankah “plot” ini sama dengan alur pembangunan Chelsea?
Bedanya, City didorong “faktor Pep” yang diharapkan selain memberi prestasi, juga membawa visi “ideologi” sepak bola indah.
Dulu, Pasukan Stamford Bridge tak sepi dari sentuhan manajer hebat. Dari Ruud Gullit, Gianluca Vialli, Claudio Ranieri, Jose Mourinho, Avram Grant, Rafael Benitez, hingga pelatih interim yang mengejutkan: Roberto Di Matteo.
Kehadiran Mourinho di London melekat dengan ambisi taipan Rusia, Roman Abramovich. Bukankah ini peta jalan yang mirip dengan kedatangan Pep Guardiola di Etihad?
Sebelum bergabung dengan Chelsea, dengan pendekatan karakter yang khas, Mou sukses membawa FC Porto meraih Liga Champions 2003.
Pelatih asal Portugal yang mengklaim diri sebagai The Special One itu langsung menjadi pesaing dua nama besar Liga Primer: Alex Ferguson di Manchester United, dan Arsene Wenger di Arsenal.
Chelsea nyaris sudah membendaharakan semua trofi, baik Piala Liga, Piala FA, Liga Primer, Liga Champions, dan Liga Europa.
Uniknya, trofi Liga Champions justru diraih bukan di era “sang pembangun kejayaan”, Mourinho. Chelsea juara 2012 di bawah arahan pelatih interim, Roberto Di Matteo yang sempat menjadi player-manager.
Ketika masuk final 2008 dan dikalahkan MU lewat adu penalti, John Terry dkk ditangani Avram Grant. Sedangkan pelatih yang mengantar menjadi juara Liga Europa adalah Rafa Benitez.
Berburu Eropa
Manchester Biru penasaran berburu titel Eropa. Perasaan yang sama menghinggapi Pep Guardiola. Selepas dari Barcelona, mengarsiteki Bayern Muenchen, lalu berlabuh ke Etihad, gebyar gelarnya belum merambah ke pembuktian Eropa.
Pada musim 2021-2022, yang dianggap sebagai peluang terbaik, City dan Pep gagal di tangan kematangan Real Madrid.
Erling Haaland-kah salah satu jawaban bagi kegelisahan Pep Guardiola?
Seperti Mourinho yang pada masanya mengumpulkan para pendekar dahsyat dunia, Pep juga melakukan hal yang sama.
Haaland — dengan transfer 100 juta poundsterling atau sekitar Rp 1,7 triliun — adalah satu di antara pemain elite yang akan melengkapi keberadaan Raheem Sterling, Riyad Mahrez, Gabriel Jesus, Jack Grealish, Phil Foden, Kevin de Bruyne, Ilkay Gundogan, Bernardo Silva, Fernandinho, Nathan Ake, Aymeric Laporte, juga Oleksandr Zinchenko.
Sejak Sergio Agureo pergi, skema Pep jarang menggunakan striker murni. Dengan kehadiran Haaland, yang banyak dibayangkan orang tentulah potensi produktivitas gol. Plotnya, striker mematikan itu bakal mendapat layanan memanjakan dari Sterling dan Mahrez yang piawai mengeksploitasi sayap.
Bakal semudah itukah Haaland beradaptasi? Liga Primer dikenal gampang-gampang susah, dan yang pasti lebih ketat dibandingkan dengan Bundesliga, La Liga, atau Liga Seri A.
Fernando Torres pernah mengalami hari-hari sulit bersama Chelsea. Romelu Lukaku boleh “sangat dewa” di Internazionale Milan, namun dia menjadi “mejan”, tak mudah membombardir lawan saat memperkuat MU dan Chelsea. Jadon Sancho yang gemilang bersama Borussia Dortmund pun, dalam semusim kemarin masih mencari bentuk di MU.
Mentereng
Kesuburan Halaand sangat mentereng di Bundeliga sejak memperkuat RB Salzburg, dan kemudian Dortmund. Ia mengemas 59 gol dari 65 laga dan membukukan 15 assist. Di Liga Champions, ia mencetak 23 gol dari 19 laga.
Mampukah ia menjadi seperti Cristiano Ronaldo, yang jago beradaptasi dan konsisten subur di liga mana pun?
Atau ia akan kaget menghadapi laga-laga yang tidak biasa di Liga Primer, dan mengikuti taktik Pep dengan pendekatan yang baru baginya?
Seorang penyerang dihadirkan sebagai mesin gol. Tugasnya menyelesaikan, mencari ruang yang tepat untuk “memperlakukan” umpan, dan punya sikap oportunis dari posisi apa pun.
Karakter “algojo kejam” itu melekat pada Haaland, sejauh ini, saat dia memperkuat RB Salzburg dan Borussia Dortmund.
Di Manchester City, akankah sifat dan naluri kemonsteran itu bakal menemukan panggung terbaik?
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —