blank
Rektor Unissula Prof Dr Gunarto SH MHum (tengah) memberikan pandangannya kepada wartawan terkait pilpres 2024 di Kampus Unissula Semarang (30/6)

SEMARANG – Rektor Unissula Semarang Prof Dr Gunarto SH MHum memberikan pandangannya terkait prospek pilpres 2024 yang diharapkan bisa membangun kesejukan dan merekatkan semua potensi bangsa.

“Capres 2024 mendatang mesti mampu mencerminkan simbol pemersatu bangsa. Kalau kita gagal merumuskan pasangan Capres pemersatu bangsa, maka problem potensi perpecahan sesama anak bangsa akan terus terjadi dan berlarut-larut”, ungkapnya dalam konferensi press di kampus Unissula Jln raya Kaligawe KM 4 Semarang, Kamis (30/6).

Lebih lanjut Guru Besar Fakultas Hukum Unissula tersebut memberikan pandangannya “Kami tentu prihatin, perjalanan politik dalam rentang 10 tahun terakhir, dipenuhi oleh tema-tema kontra produktif. Kualitas berbangsa kita begitu rendah. Energi kita sebagai anak bangsa terkuras habis oleh perdebatan publik yang menjurus ke proses disintegrasi sesama anak bangsa. Ini yang harus dihentikan,” jelas Gunarto.

Ia menambahkan, pengkubuan antar anak bangsa ini telah menghabiskan energi. “Fokus pembangunan jadi terganggu. Negara seperti tidak tahu mana yang jadi prioritas mana yang tidak. Dan ini sangat melelahkan bagi siapapun. Jalan satu-satunya kita mulai dari calon pemimpin. Mereka mesti dari pasangan yang mampu menjadi simbol pemersatu bangsa,” ujar Ahli Hukum Pidana ini.

Menurut Gunarto, secara teoritik ada kemunduran terhadap implementasi nilai-nilai Pancasila, terutama sila ketiga Persatuan Indonesia. “Tema-tema yang membenturkan nilai-nilai Pancasila dengan Islam sebagai agama mayoritas intensitasnya makin tinggi. Secara sosial politik situasi ini tidak sehat,” ujarnya.

Bagi Gunarto, kondisi ini telah terbukti mengurangi harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. “Melihat kondisi sosial politik saat ini, Unissula berpandangan bahwa pasangan Capres mendatang mesti mampu mencerminkan sebagai simbol pemersatu bangsa,” jelas Prof Gun, sapaan akrab Gunarto.

“Kita mesti secara bersama-sama mampu mengakhiri dikotomi sosial politik yang selama ini muncul di ruang publik. “Seperti misalnya istilah Cebong, Kampret, Kadrun dan membenturkan antara Pancasila dan Islam. Mesti dihentikan, karena terbukti sangat menguras energi bangsa yang tidak perlu,” katanya.

Pemikiran Soepomo
Gunarto menambahkan, para pendiri bangsa seperti Prof Soepomo sebenarnya telah meletakkan landasan yang paling mendasar tentang pentingnya menyatukan bangsa. “Prof Soepomo melalui teori Integralistik telah mengingatkan semua unsur komponen bangsa untuk meletakkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan di atas kepentingan individu, kelompok dan suku,” ujarnya.

Secara garis besar, menurut Gunarto, teori integralistik Soepomo menjelaskan tentang hubungan antara masyarakat dengan penguasa negara, sehingga membentuk satu kesatuan utuh yang didukung oleh rasa kekeluargaan serta kebersamaan.

“Teori ini punya enam prinsip dasar. Pertama negara merupakan susunan masyarakat yang bersifat erat dan integral. Kedua, seluruh anggota masyarakat organik yang utuh dan satu. Ketiga, persatuan masyarakat menjadi hal yang paling utama. Keempat, negara tidak memihak golongan tertentu. Kelima, negara dan rakyat saling bersatu membentuk persatuan. Dan keenam, negara mempunyai posisi lebih tinggidi atas semua golongan dalam berbagai bidang,” tandas Gunarto.

Pesan Islam, terhadap nilai-nilai persatuan juga sangat jelas. “Persatuan dalam Islam merupakan hal yang sangat penting. Sebaliknya, ummat Islam dilarang untuk saling berseteru karena akan merugikan ummat,” jelasnya.

Dalam Al Quran surat Ali Imran ayat ayat 103 menyebutkan “Dan berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah. Dan janganlah kamu bercerai berai.”

Jadi, menurut Prof Gunarto, pemimpin memang perlu punya visi besar dan terukur. “Tapi pasangan Capres yang bisa menjadi pemersatu, untuk saat ini lebih dibutuhkan,” tandas Gunarto.