Oleh: Noor Afiyah Zain
JEPARA (SUARABARU.ID)- Pendidikan yang kita berikan harus sesuai dengan tuntunan alam dan zamannya. Saat ini setiap anak harus memiliki keterampilan abad 21 yang meliputi creativity thinking, critical thinking, comunication dan collaboration. Siswa harus kreatif, mampu berpikir kritis, mampu berkomunikasi dengan baik, dan mampu berkolaborasi dengan baik. Pemikiran besar yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara sangat Populer yaitu semboyan Ing ngarso sung tulodho (di depan memberi teladan), ing madya mangun karso (di tengah membangun semangat, kemauan), dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan) yang kini menjadi insiprasi besar bagi kalangan guru dalam dunia pendidikan.
Ki Hajar Dewantara memberikan pemikirannya tentang Dasar-dasar Pendidikan. Menurut KHD, Pendidikan bertujuan untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Sistem Among sendiri terdiri dari dua konsep dasar yakni kodrat alam dan kemerdekaan. artinya guru itu menjaga, membina dan menididk anak kasih saying, Peran menuntun sesuai sistem among terkandung makna bahwa setiap anak didik memiliki potensi sesuai dengan garis kodratnya. (Masitoh & Cahyani, 2020), Guru harus memberi kesempatan seluas-luasnya dan dorongan kepada anak didik untuk mengungkapkan perasaan, pikiran dan perbuatannya. pembinaan anak didik harus berdasarkan atau kemauan sendiri, pemahaman dan usaha sendiri. Guru mengupayakan atau memfasilitasi agar pembinaan mengarah kepada kemampuan anak didik untuk mengolah hasil temuannya.
Murid adalah anak didik kita yang memiliki kodrat alam yang selalu ingin merdeka sejak dari kandungan, ia menangis jika merasa kehausan hingga jiwa merdeka saat ia dewasa.(koneksi-antar-materi @ filosofipemikirankihajardewanatar.blogspot.com, n.d.) Makna dari “merdeka” belajar adalah merdeka atas diri sendiri. Minat dan bakat siswa itu harus merdeka untuk berkembang seluas mungkin. Konsep itu yang dibawa Ki Hadjar Dewantara bagi bangsa ini dengan harapan tak digerus perkembangan zaman. Konteks pendidikan Merdeka Belajar itu adalah Merdeka Bermain. Karena bermain adalah belajar, dengan bermain anak menjadi lebih senang, Dalam pembelajaran di kelas hendaknya kita juga harus memperhatikan kodrati anak yang masih suka bermain. Hendaknya guru juga memasukan unsur permainan dalam pembelajaran agar siswa senang dan tidak mudah bosan. sehingga pembelajaran bisa diintegraskan dengan bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain.
Pendidikan yang berpihak / menghamba pada anak proses pembelajaran akan lebih menyenangkan dan bermakna. Karena peserta didik merasa bahwa seluruh proses pembelajaran itu merupakan bagian dari diri mereka, sebab segala proses pembelajaran melibatkan mereka dengan segala proses dan tahapannya, Akan tetapi Budi pekerti juga harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan dan pengajaran yang kita lakukan sebagai guru. Guru harus senantiasa memberikan teladan yang baik bagi siswa-siswanya dalam mengembangkan budi pekerti. Kita juga bisa melakukan kegiatan-kegiatan pembiasaan di sekolah untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti/akhlak mulia kepada anak.
Pengetahuan tentang teori tabula rasa ini bagiku menjelaskan fenomena anak-anak sekolah yang pasif dan kegiatan utama guru yang fokusnya mengajar (mengisi kertas kosong). Keterlibatan anak tak dianggap terlalu penting, apalagi pendapat dan inisiatif anak. Ketika kita memandang anak sebagai individu, itu akan membuat proses pendidikan yang kita lakukan berbeda dibandingkan jika kita memandang anak sebagai kertas kosong. Dengan memandang anak sebagai individu, kita lebih melibatkan anak dalam proses pendidikan untuk dirinya sendiri; kita mendengarkan dan memperhatikan pendapat mereka serta menjadikannya sebuah hal yang penting dalam proses pendidikan anak.
Pandangan Ki Hadjar Dewantara mengenai padi diibaratkan olehnya seperti anak (murid) dalam melaksanakan pendidikan. Ibarat petani sebagai guru yang menyebarkan benih atau bibit padi, tidak bisa memaksakan tanaman padi menjadi tanaman lainnya. Hal tersebut juga dimaksudkan kepada anak-anak yang sudah mempunyai minat dan bakatnya masing-masing, tidak bisa dipaksa untuk menjadi apa yang diinginkan oleh guru atau orang tua untuk tujuan tertentu.
Dalam proses pembelajarannya, ternyata tidak hanya mengkonsentrasikan pada pelajaran (latihan) panca indra saja, tetapi permainan anak juga dimasukkan pada pembelajaran di sekolah sebagai kultur. Kita tidak dapat membandingkan metode Frobel, Montessori dan Taman Siswa tentang pengaruh tenaga lahir pada batin seperti berikut: (a) Montessori mementingkan pelajaran panca indra, hingga ujung jari pun dihidupkan rasanya, menghadirkan beberapa alat untuk latihan panca indra dan semua itu bersifat pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak dipentingkan, (b) Frobel juga mendjaikan panca indra sebagai konsentrasi pembelajarannya, tetapi yang diutamakan adlah permainan anakanak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indra juga diwujudkan mengjadi barang-barang yang menyenangkan anak. Namun, dalam proses pembelajarannya anak masih diperintah.
Kaitan filosofi dan prinsip pendidikan yang memerdekakan dengan tujuan pendidikan untuk membentuk profil Pelajar Pancasila, Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. (profil-pelajar-pancasila @ ditpsd.kemdikbud.go.id, n.d.).
Profil Pelajar Pancasila yang di dalamnya berisi karakter-karakter yang merujuk pada Pancasila, memberikan implikasi terhadap ketahanan pribadi siswa, dimana Profil Pelajar Pancasila ini mengarahkan siswa menjadi pribadi yang berkarakter sesuai dengan Pancasila yang terangkum dalam sebuah Profil Pelajar Pancasila. (Rusnaini, Raharjo, Suryaningsih, & Noventari, 2021).
(Penulis adalah Guru SDN 2 Gemiringlor Nalumsari Jepara, tinggal di Jepara)