blank
Foto: thirdman/pexels

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

blankSYARIAT adalah tatanan hidup yang komperehensif (kaffah-QS 2: 208) baik berupa keimanan, sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, dari Allah SWT untuk kebahagiaan manusia dunia dan akhirat.

Sedangkan budaya, menurut Alija Izet Begovic, presiden pertama Bosnia Herzegovina, adalah berasal dari kata culture, dari asal kata cult=penyembahan, cultus=pemujaan.

Jelasnya terkait dengan terma agama. Ada yang menyebut budaya dari kata Sansekerta “Buddhayah“=buddhi=akal. Sementara Profesor Selo Sumarjan mendefinisikan sebagai hasil karsa, rasa dan cipta manusia.

Jadi yang dimaksud pembudayaan Syariat di sini adalah, bahwa Syariat sebagai anugerah Allah SWT. Kepada manusia yang secara inherent mengalami perjumpaan dengan bawaan lahir manusia yang berupa karsa, rasa dan cipta manusia.

Sementara karsa, rasa dan cipta, meskipun sama-sama anugerah Allah SWT. tetapi memiliki identiti yang berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan ini semata-mata Iradah Allah SWT sendiri, yang mengandung hikmah tak terhingga agar saling melengkapi.

Konsekuensinya, manusia pasti berbeda dalam berbagai aspeknya. Untuk itu kita coba urai serba sedikit dari yang kaffah itu, melalui bentuk budaya simbolik yang ada di sekitar kita.

Adalah fakta, bahwa budaya sebagai produks karsa, rasa dan cipta manusia tidak pernah final dan sempurna. Maka misi manusia dalam memproduks budaya yang selaras dengan Islam, dinilai sebagai bagian dari ibadah (QS 51: 56) ghairu mahdhah.

Dengan demikian, pembudayaan syariat-pun tidak luput dari nilai plus dan minusnya. Nilai plus-nya adalah: 1. mengakar dan lestari. Sebagai contoh budaya menyambut shiyam Ramadan dan “Idul Fithri“.

Dahulu ketika orang Indonesia belum pintar membaca Alquran dan hadits, para wali mengajarkan simbol-simbol dalam bentuk teknologi sederhana.

Kelemahan Budaya
Misalnya pemberitahuan waktu hari padusan (mandi), menjelang awal Ramadhan atau Syawal, Imsak dan Takjil, menggunakan kenthong dan bedhug.

Teknologi sederhana ini di zaman modern dianggap kuno, lalu sebagian umat menggantinya dengan sirine. Di tempat saya, saudara-saudara kami yang tidak menyukai kenthong bedhug-pun, enjoy saja dengan sirine.

Padahal fungsinya sama juga, yaitu sebagai sarana komunikasi dan informasi. 2. lebih mudah bagi dai untuk menanamkan budaya daripada kajian-kajian agama. 3. lebih soft dan tidak banyak menyinggung perasaan para mad’u.

Lalu 4. tak lekang di panas tak lapuk di hujan. Kemudian 5. mencerdaskan umat untuk belajar selektif terhadap budaya yang selaras atau bertentangan dengan syariat.

Ada pun kelemahan sebuah budaya; 1. sering diterima tanpa kritik. 2. penerimaan dari generasi sebelumnya sering tidak selektif. 3. sulit berubah, meskipun budaya itu sudah tidak relevan lagi. 4. jika tidak bijak menyikapinya, bisa menimbulkan benturan budaya.

Contoh lain dalam budaya menutup aurat yang diperintahkan syariat. Ia tidak secara detail menjelaskan, karena dinamikanya yang cepat.

Dulu simbah saya memakai celana cingkrang di bawah lutut. Kata simbah, itu adalah celana anjuran Nabi.

Tetapi karena simbah tidak pernah reaktif dan cacimski kepada orang yang panjang celananya di bawah mata kaki yang ia pandang hukumnya makruh, maka celana cingkrang beliau ditiru banyak orang. Model celananya menjadi viral.

Contoh lain tentang makanan. Ketika menghadapi ‘Idul fithri‘, para wali mengajarkan buat makanan sebagai simbol ajaran agama.

Seperti krecek=rengginang=renyah=tabassum. Jenang=lengket=ukhuwwah. Kue satu=bersatu. Kupat=mengaku salah atau laku papat dst. Budaya itu masih lestari, meskipun sudah mulai kehilangan filosofinya.

Contoh lain, pakaian baru atau terbaik di hari raya (Hasyiyah Sunan An-Nasa’i 3: 181). Para wali menekankan lewat karya sastranya, agar pakaian barunya bisa men-tajdid iman, akhlak dan perannya sebagai hamba Allah SWT.

Kini budaya pakaian baru semakin marak, meskipun sudah mulai luntur filosofinya juga. Masih banyak contoh lain yang representatif, tetapi tidak bisa dipaparkan dalam artikel pendek ini.

Wallaahu A’lam bis-Shawaab!!!

Dr KH Muchotob Hamzah MM, Ketua Umum MUI Kabupaten Wonosobo