ADA ahli bekam bertanya kepada sesepuh, bagaimana dia harus melayani pasien. Ditarif resmi atau seikhlasnya? Beliau menjawab, “Sampeyan itu tidak usah cekathangan (campur tangan) mengurus rezeki. Itu sudah diatur Allah. Ada orang minta tolong, ya ditolong.”
Lain waktu ada tamu datang, bertanya hal serupa dan jawaban beliau beda lagi, yaitu, “asal hatimu tidak tamak, mulutmu tidak minta, diberi berapapun, jangan ditolak!”
Begitu juga ketika ada pertanyaan serupa soal mahar, jawabannya, “ya tidak masalah, jika diberi, terima saja. Orang bodoh mencari nafkah dengan ototnya, orang berilmu dengan ilmunya.” Jawaban beliau atas pertanyaan yang sama, jawabnya berbeda, tergantung siapa yang bertanya dan aktivitasnya.
Dalam kehidupan ini penuh dengan keberagaman profesi. Ada terapis yang (kebagian) aktivitasnya ringan, tanpa berkeringat. Duduk manis di rumah dan berkecukupan padahal kerjanya hanya memberi advis tamu yang konsultasi.
Baca juga Rezeki Saat Kepepet Itu Asyik
Dia tidak pasang tarif karena sudah yakin rezeki itu dari atas dan bukan dari samping. Saya suka petuah profesinya : “Asal hati tidak tamak, mulut tidak minta, diberi berapapun jangan ditolak!” Apalagi yang dia lakukan hanya “modal abab” melalui konsultasi, memberi advis, saran, motivasi dan klien yang melakukan “terapi” sendiri.
Saat saya tanya kenapa tidak bertarif? Menurutnya, standar kepatutan seseorang itu tidak sama, biar mereka yang mengukur dirinya. Ibarat “menebang” pohon besar, alat gergaji tentu disesuaikan. Jika “bonsai” cukup pakai pisau kecil, jangan disamaratakan.