Menurut  saya, kalau  memang ahli,  silakan pasang tarif.  Atau sesuaikan dengan kemampuan pasien. Dan jika ditanya,”berapa?” Jika tidak dijawab, malah tidak nyaman jadinya. Karena kadang ada calon murid atau klien kurang mengerti bagaimana berat dan mahalnya guru zaman dulu itu.

Kalaupun murid membayar mahar, tentu dengan perhitungan, maju mundur, dengan syak-wasangka (suudzan), dengan jumlah mahar yang minim (karena faktor kikir) tapi dengan berbagai permintaan ilmu yang tinggi.

“Menjual” ilmu spiritual, kadang terkesan vulgar, namun itu diyakini, memasang mahar tinggi, agar orang menghormati dan menghargai ilmu yang akan dipelajarinya. Karena manfaat dari mahar itu sebagai bebungah,  agar guru senang.

blank
Ilustrasi

Baca juga Menabung Energi Kebajikan

Mahar itu diyakini bernilai sebagai sarana mempercepat terkabulnya  hajat dan sekaligus zakat jiwa, sedekah batin, penolak bala, penarik berbagai berkah, penyembuh dari penyakit, dan penarik rezeki.

Pernah dikisahkan sahabat saya. Dia punya kisah berkaitan dengan memberikan hak orang lain. Karena tagihannya macet menjelang lebaran, dia perintahkan istri dan bagian keuangan agar tidak memberi bantuan atau pinjaman kepada saudara dan tetangga yang nanti pinjam atau minta.

Di saat puncaknya kalut, dia mengisi waktu membaca buku tentang konsep sedekah, yaitu : “Apa yang kau perbuat, itu pula yang kau dapat.” Hal itu juga dijelaskan dalam hadis, “Siapa memudahkan urusan dengan sesamanya, Tuhan pun akan mempermudah urusannya.”

Kerabat itu tersadar. Dia bersyukur lalu merubah kebijakan untuk membuka pintu bagi orang yang perlu bantuan, bahkan dia bernazar untuk menyedekahkan sebagian hasil tagihan yang “macet” itu.

Terjadi pun keajaiban. Tak lama kemudian telepon berdering, beberapa pelanggan yang semula tidak bisa dihubungi, pada menghubungi dan minta nomor rekening, ada yang sekedar klarifikasi kebenaran nomor rekening yang akan ditransfer. Alhamdulillah.

Masruri, penulis buku praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati.