Ada juga terapis saat ditanya  tarif, dia menjawab, sesuai kemampuan. Karena kata “sesuai kemampuan” itu berbeda dengan kalimat “seikhlasnya”. Setiap kalimat punya power berbeda. Dan kebanyakan dari kita merasa harga diri klien disentil, hingga gengsinya naik.

Sebaliknya jika pakai kalimat seikhlasnya, rata-rata klien memberi dibawah standar kewajaran, bahkan ada yang “membayar” dengan (ucapan) terima kasih. Karena sebagian dari orang kita itu punya asumsi, menawar termasuk hal yang tabu dilakukan.

Ada juga sesepuh saat ditanya mahar,  jika yang mau didipelajari itu ilmu “kanuragan” atau kesaktian, jawabnya “saram”, yaitu, maharnya setara harga nyawa yang belajar ilmu.

Kenapa? Sebagian guru punya kalkulasi, ilmu yang dipelajari itu tidak akan berkurang walau diajarkan kepada banyak orang lain. Artinya, dia kulak ilmu hanya sekali, namun ilmu yang didapat itu bisa dijual puluhan, atau ratusan kali, dan ilmunya tidak berkurang.

Pernah ada anak muda privat tenaga dalam ke rumah saya. “Manajemen” yang dia pakai super cerdas plus nekat. Yaitu, dia membuat spanduk “penerimaan pendaftaran anggota tenaga dalam.” Dan setelah terkumpul sejumlah uang, dia baru privat tenaga dalam ke rumah saya.

Dulu Berat

Menurut para guru era 60-80-an, belajar ilmu itu maharnya mahal. Misalnya kerbau, sapi, atau yang tidak punya modal, dia pilih  menghambakan diri  di rumah guru dan mengerjakan pekerjaan dapur, kebun, sawah, merawat ternak, dsb.

Dan karena perjuangan itu menyebabkan ilmunya menjadi berkah dan sekaligus ampuh. Zaman sekarang? Kalau mampu sesuai tarif normal, dan kalau tidak mampu, ya sepantasnya, dan bukan seikhlasnya. Karena soal bayaran itu bukan masalah ikhlas, melainkan bentuk penghargaan yang layak dan pantas.