Oleh: Amir Machmud NS
// tak tersisakah ruang yang bebas luka?/ selengkap dan sedalam itu/ riang lapangan tertutup kisah-kisah muram/ tentang tradisi pertikaian/ konflik kepemimpinan/ hingga kapten yang hilang konfidensi/ semakin panjang luka menganga/ semakin dalam harapan terbenam/ siapa mampu mengeringkan?//
(Sajak “Luka Setan Merah”, 2022)
DARI “memalukan” ke “menyedihkan”.
Begitulah Roy Maurice Keane melukiskan perkembangan perasaannya kepada Manchester United. Dia merespons gusar kekalahan telak 0-4 eks klubnya itu dari Liverpool, pekan silam.
BBC Sport, seperti dikutip detik.com (13/4-2022) memberi ruang ekspresi kegundahan hati Keane. “Ini bukan lagi kemarahan, melainkan kesedihan. Tidak ada pemimpin, tidak ada kualitas. Ada kekacauan di klub dari atas. Mereka membutuhkan manajer baru, mereka membutuhkan pemain masuk dan pemain keluar. Sangat menyedihkan melihat klub tempat saya bermain,” ungkapnya.
Eks kapten itu meluapkan kepedihan, “Perbedaannya seperti kapur dan keju. Saya tidak melihat tim Manchester United di luar sana bertarung dan menunjukkan kebanggaan…”
Tak sekali ini Roy Keane mengkritik MU, dan inilah “pergerakan” perasaan yang mewakili elemen-elemen kehidupan Setan Merah seperti Gary Neville, Rio Ferdinand, dan para fans.
Dari “memalukan” ke “menyedihkan”…
Sepekan kemudian, datang keastian itu: Erik Ten Hag. Pelatih asal Belanda arsitek Ajax Amsterdam itu menyepakati kontrak tiga musim untuk menangani MU. Dia mengakhiri spekulasi siapa yang akan menggantikan Ralf Rangnick: Maurizio Pochettino, Zinedine Zidane, atau sejumlah nama lainnya.
Butuh Waktu
Sudah paskah durasi kontrak tiga tahun untuk “menengahi” persoalan akut Setan Merah?
Jangan-jangan seperti yang lainnya, diputus di tengah jalan karena tidak segera memberi harapan pemulihan?
Tanyakan kepada mereka — David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solskjaer, dan kini Ralf Rangnick — metode apa yang paling tepat untuk menghela pemulihan MU?
Lima nama itu berurutan menyuksesi sejak 2014, termasuk dua pelatih karteker Ryan Giggs dan Michael Carrick, namun tak seorang pun mampu mendekatkan MU ke atmosfer kebangkitan, dan apalagi pemulihan ke arah zaman Alex Ferguson.
Hampir satu dasawarsa hampa prestasi tentu terlalu lama untuk sebuah klub bertabur trofi. Akan tetapi, tak tersimakkah “statistika permakluman” ini? Ketika mengawali kebangkitan pada 1990-an, MU juga harus menunggu 26 tahun untuk juara liga, dari 1967 ke 1993, masa-masa jaya Matt Busby ke panggung jawara Alex Ferguson.
Kunci pemulihan eksistensi MU, ketika itu, adalah kesabaran untuk menunggu kematangan karya Fergie. Didatangkan pada 1986 dari Aberdeen, dia baru bisa memberi trofi Piala FA untuk MU empat tahun kemudian, dan membukukan gelar liga tiga tahun berikutnya. Fergie diwarisi “tradisi” buruk alkoholik sejumlah pemain, yang kemudian dia tumpas dengan gaya dikatorial.
Setiap zaman memiliki dinamika masing-masing. Dan, hingga kini, warisan 38 gelar juara selama hampir 27 tahun, rasanya sulit disamai oleh pelatih mana pun dan kapan pun. Khusus Liga Primer, 13 trofi adalah rekor yang rasanya sulit terpecahkan.
Moyes yang digadang-gadang membangun “kerajaan”, terpental. Van Gaal, dengan satu trofi Piala Liga, tak kuasa melawan kehendak penyegaran. Mourinho, yang memberi trofi Liga Europa pun setali tiga uang. Sedangkan Solskjaer, yang sempat menumbuhkan harapan dari rentetan rekor kemenangan dan posisi elite menjanjikan, akhirnya terlempar oleh realitas bukan figur kokoh yang dibutuhkan.
Rangnick? “Empu” gegenpressing ini terwarisi kesengkarutan di ruang ganti. Sejumlah masalah tak tertuntaskan. Ketidakstabilan Paul Pogba, nama besar dan peran Cristiano Ronaldo, penurunan kontribusi Bruno Fernandes, pudarnya performa Marcus Rashford, ketidakmaksimalan Jadon Sancho, hingga problem blunder dan kualitas kepemimpinan kapten Harry Maguire.
Erik Ten Hag pun kini ditunggu untuk mengurai satu per satu persoalan.
Lalu akankah dia masuk ke problem 10 tahun terakhir ini: siapa pun pelatih baru, sejatinya hanya bagian dari pusaran spekulasi?
Problem waktukah yang tak bertoleransi? Mengapa tak menoleh ke masa lalu, ketika memberi keleluasaan bagi Alex Ferguson untuk mengelola masa-masa pematangan?
Mantan kapten, Wayne Rooney mengingatkan fans untuk memberi kesempatan kepada Ten Hag membangun tim. Kata Rooney, ini pekerjaan besar dan bagus untuk melihat MU telah mendapat seorang pelatih yang sepertinya membutuhkan sedikit waktu untuk penyesuaian. “Fans harus realistis,” tuturnya seperti dikutip cnnindonesia.com dari Daily Mail.
Apakah Theater of Dream butuh kehadiran “diktator” seperti Sir Alex, antara lain dengan produk gemblengan “Class of 1992” yang fenomenal itu?
Nyatanya, bukankah kediktatoran Van Gaal dan Mourinho pun tak mampu menembus tirai masalah di Old Trafford?
Kelembutan Ole Gunnar Solskjaer juga bukan opsi dekonstruktif yang mengurai akar persoalan.
Jadi apa lagi yang dibutuhkan agar “luka” tak semakin dalam?
Mungkin waktu, mungkin manajemen transfer, mungkin pula ini disadari sebagai siklus alamiah manajemen klub sepak bola?
Yang bisa mengurai, mengelola, dan memainkannya, itukah figur yang memang punya chemistry psikologis: “detak nadi” senada dengan “detak” MU saat ini?
Erik Ten Hag-kah itu?
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah