Oleh: Ustadz Adi Hidayat
KEIMANAN dan ketakwaan merupakan dua komponen penting yang mesti dimiliki setiap diri umat muslim. Bulan Ramadan bisa dijadikan sebagai momen untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
Namun, keimanan dan ketakwaan tidak hanya meningkat di bulan Ramadan saja, melainkan di bulan-bulan lainnya.
Seseorang yang hendak menunaikan ibadah puasa, maka Allah SWT memberikan pesan kepadanya, juga kepada setiap muslim beriman yang hendak berpuasa agar tidak main-main dan menganggap ringan kesempatan Ramadan yang Allah berikan pada hidupnya, karena belum tentu nikmat itu akan diterima oleh setiap hamba atau mungkin bisa berulang di kesempatan berikutnya.
Jadi tidak setiap orang bisa mendapatkan nikmat Ramadan. Dan tidak setiap yang mendapatinya akan mengulangi di masa yang akan datang. Karena itu para sahabat Nabi SAW begitu selesai kemudian mendapati Ramadan, maka banyak diantara mereka bahkan di penghujung Ramadan itu mengalirkan air matanya. Mereka menangis, berharap ‘Ya Allah, kalau bisa jangan berhenti Ya Allah’.
Besok Ramadan lagi, lusa Ramadan lagi, pekan depan Ramadan lagi, kalau perlu setiap hari Ramadan, Ya Allah saking inginnya semua waktu itu Ramadan. Dan kita diberikan kesempatannya, dan mereka tahu belum tentu tahun depan bisa berjumpa.
Karena itu, semua bermujahadah ketika akan tiba Ramadan. Dan begitu tiba Ramadan, maka kalimat لَعَلَّكُمْ (la‘allakum) digunakan dengan sepenuh jiwanya. Maksimal ibadahnya.
Kata Ibnu Abbas radhiyallahu ta’ala ‘anhuma: “Saya belum pernah melihat Rasulullah semulia ini dalam ibadahnya, selembut ini dalam shodaqoh-nya, sebanyak ini dalam pemberiannya kecuali saat Ramadan.”
Angin yang berhembus sepoi-sepoi pun kalah amalannya oleh Nabi SAW. Nah itu lembutnya angin, itu kalah oleh lembutnya Nabi SAW saat beraktivitas di bulan Ramadan.
Lembut menghadapi orang-orang, shodaqoh-nya bertambah, ibadahnya bertambah, interaksi dengan Qur’an-nya, dan sebagainya
Dan orang-orang yang bukan Nabi SAW karena melihat Nabi-nya serius mereka lebih serius lagi. Jadi gambarannya Nabi saja yang dijamin surga begitu serius, apalagi saya yang bukan Nabi yang belum jelas surganya.
Maka kata Allah, seakan-akan dihadapkan kita di hadapan Allah untuk menumbuhkan kesungguhan kita dan menunjukkan bahwa Allah serius dengan itu. Kata Allah, “Kamu di hadapan Kita.” Bukan orang lain. Jadi bukan orang yang disebut, maaf, bukan orang yang di zaman Nabi, bukan orang di masa sahabat, bukan orang di masa tabi‘in. Tapi kata Allah لَعَلَّكُمْ masih ada di depan kita, تَتَّقُوْنَ, kamu, tanpa batas.
Kata Allah, “Kamu mesti serius ya. Karena Saya ingin kamu bertaqwa. Kamu mesti berubah. Kamu mesti jadi hamba yang taat. Mesti ada perbedaan ketika kamu lahir dengan kamu pulang. Saya ingin tingkatkan taqwa kamu.
Kalau anda hafal Quran, demi Allah saya katakan, begitu disebut taqwa, itu bisa berlinang air mata anda. Karena ayat taqwa selalu terkait dengan nilai kebaikan. Ketika Allah sebutkan taqwa, maka Allah ingin tanamkan kebahagiaan. Kamu tingkatkan taqwa supaya bahagia. Jadi ketika anda dilatih taqwa saat Ramadan, ‘la‘allakum tattaquun’, supaya kamu taqwa. Anda tanya kenapa Ya Allah? “Saya pingin kamu bahagia, ayo taqwa.”
Ketika taqwamu meningkat kepada Allah, kata Allah, “Maka Aku mudahkan hidupmu, Aku berikan solusi, Aku limpahkan rezeki kepadamu.”
Saya telah siapkan bagi orang taqwa, apa itu? Saya telah siapkan surga yang tak bernilai dunia, batasnya nggak ada batas dunia.”
Kata Allah: Saya siapkan surga luasnya seluas langit dan bumi untukmu orang taqwa.
Jadi orang taqwa itu kata Allah, yang berhasil menunaikan ibadah puasanya, bukan sekedar meningkat taqwa-nya, sholatnya, infaq-nya, Al-qur’an-nya, bukan sekedar di Ramadan, bukan cuma di awal Ramadan, sejak puasa dimulai, awal pertama Ramadan, begitu 1 Ramadan muncul, tunaikan tarawih-nya, maka dia sudah siap dengan kurikulumnya.
‘Malam ini saya akan tarawih di tempat A’. Siapkan, bahkan di 30 hari sudah siap. Kalau sampai ke-30 hari, malam ini di masjid A, malam ini di masjid B, sunnahnya baca Qur’an nanti saya akan capai sehari misalnya 10 juz.
Dibagi oleh dia, subuh baca sekian, dzuhur baca sekian, ashar baca sekian, begitu tiba malamnya, maka dimulailah present ibadahnya. Orang taqwa sudah siap. Dan yang paling menarik bukan cuma present, continous (berlanjut), hari pertama shaf pertama, hari kedua shaf pertama juga, jadi meningkat terus, konsisten di situ.
“Hari pertama datang sebelum maghrib, nunggu di masjid, hari kedua habis Isya’ baru datang, nah ini belum konsisten. Jadi kalau anda ingin disebut dalam golongan yang ini, ini mujahadah ini, yang serius ini pertahankan sampai pertengahannya”.
Masya Allah, hari pertama shaf depan, hari kedua shaf depan, hari ketiga shaf depan, hari keempat shaf depan, hari kelima shaf depan, sampai hari terakhir shaf depan. Nah itu yang terbaik.
Ustadz Adi Hidayat (dikutip dari kanal YouTube Ustadz Adi Hidayat).