blank
Ilustrasi shiyam itu disiplin berjamaah. Foto: agpaii.org

blank

Oleh: Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM

blank
Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM. Foto: Dok/SB

JIKA setiap muslim taat kepada Al-qur’an dan sunnah, tidak ada ibadah yang sedisiplin shiyam. Salat memang disiplin waktu (QS. 4: 103), disiplin prosedur (Bukhari no 631, 5615, 6008), disiplin manajemen kalbu (Muslim no 8: Tirmidzi 2610).

Haji juga disiplin waktu (9-13 Dzulhijjah), prosedur (contoh dari Nabi SAW), dan disiplin hati yaitu hanya karena Allah SWT (QS. 2:196). Hanya saja, tidak seketat dan sekolosal (berjamaah) disiplin dalam shiyam.

Sejak fajar sampai maghrib, detik-detik, menit- menit dan jam-jamnya ia tidak mau membatalkan shiyamnya hanya karena Allah SWT semata. Bukan karena orang lain, pengawas, penjaga ataupun aparat keamanan.

Bagi muslim Indonesia, dengan sunnah mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka, rata-rata empat belas jam tiap hari bulan Ramadan. Sedangkan untuk qiyam di waktu malamnya rata-rata satu jam.

Belum lagi ditambah sunnah iktikaf pada malam tanggal ganjil setelah melewati dua puluh Ramadan.

Coba kita lihat ilustrasi ini! Seorang ibu yang anaknya sedang berlatih shiyam. Ketika sang anak mau berbuka shiyam lima menit sebelum maghrib, sang ibu merajuk. “Jangan berbuka sekarang sayang…tinggal lima menit lagi,” katanya.

Sungguh hebat umat ini!!! Lima menit waktu seakan sama dengan emas lima gram atau lebih, demi menggapai ridha Allah SWT. Bagaimana kalau sikap disiplin tersebut ditransfer ke dalam kehidupan sosial?

Misalnya, kerja, janji, bayar utang, rapat, ngantor, kelola keuangan, buruh, membayar tenaga kerja dan lainnya. Saya sendiri memandang perlu ada riset tentang hubungan shiyam dan kerja, shiyam dan juga bayar utang, agar kita bisa menilai seberapa besar benefit disiplin sosial yang kita gapai disamping pahala shiyam yang melimpah (Bukhari 1904 dan 5927: Muslim 1151)

Ada satu kasus yang mengharukan di zaman khalifah Umar Bin Khtthab ra. Seorang pemuda pergi berdagang ke luar negeri. Sepulang dari dagang, ia beristirahat di sebuah oase di tengah gurun pasir yang tak bertepi.

Setelah ia mandi dan minum, rasa kantuk tak tertahankan. Lalu ia tertidur lelap. Singkat cerita, ontanya masuk ke kebun orang dan memakan dedaunan di kebun itu. Tanpa sengaja membunuh, sang kakek pemilik kebun mengayunkan tongkat untuk menghalau.

Kisah haru

Tak disangka, onta itu mati kena pukulan yang tidak keras itu. Maka pemuda itu berang dan kemudian menikam sang kakek hingga tewas. Ia menyesal dan dengan disiplin hidupnya dia melapor kepada khalifah (disiplin pertobatan).

Setelah disidang, kedua anak lelaki sang kakek menuntut agar utang nyawa dibayar nyawa alias qishash (QS. 2: 178). Si pemuda menerima ikhlas vonis itu (disiplin hukum).

Tetapi ia minta waktu tiga hari untuk pulang membayar hutangnya (disiplin bayar utang). Khalifah berkenan asal ada orang lain menjadi jaminan (disiplin acara hukum). Sahabat Abu Dzar menawarkan dirinya sebagai jaminan (disiplin ukhuwah). Pemuda itu pulang.

Begitu semua hutang dilunasi, si pemuda pamit isterinya untuk menjalani hukuman mati (disiplin asas hukum). Meskipun berat hati, sang isteri merelakannya (disiplin taat hukum).

Saat mau berangkat menjalani hukuman mati, ketiga anaknya memegangi sang ayah agar jangan pergi. Mereka menangis meronta-ronta agar ayahnya jangan pergi.

Kemudian ia terpaksa melepaskan tangan anak-anaknya dan menaiki onta untuk memenuhi janji tiga hari (disiplin menaati janji). Setibanya di Madinah, sahabat Abu Dzar ra hampir-hampir digantung karena terlambatnya si pemuda.

Sesaat tiba di tempat eksekusi maka ia langsung meminta maaf kepada Abu Dzar dan khalifah atas keterlambatannya akibat dipegangi anak-anaknya, hadirinpun menjadi terharu.

Tidak sedikit yang meneteskan air mata. Begitu pula keharuan menyelinap pada kedua anak sang kakek sebagai penuntut.

Dengan penuh keharuan, mereka merelakan hukum qishash diganti dengan hukum diyat dengan seratus ekor unta yang dibayar tunai.

Nominal besar bagi kalangan umum itu karena pembunuhan ia lakukan dengan sengaja. Semua hadirin bertakbir, Allaahu Akbar!

Wallahu A’lam bis- Shawaab!!!

Dr. KH. Muchotob Hamzah, MM
Ketua Umum MUI Kabupaten Wonosobo.