Proses untuk memahami isi buku beliau itu perlu waktu lama. Misalnya konsep mendekat dan meminta kepada-Nya, itu layaknya salat hajat dengan tahajjud. “Salat hajat manfaatnya untuk yang diinginkan, sedangkan tahajud untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.”
Disebutkan, hamba yang dekat kepada-Nya, itu tidak minta pun diberi, sedangkan yang tidak dekat, jika meminta, bisa saja dikabulkan namun sebatas yang diminta saja. Ibarat orang dekat dengan penguasa, tidak mengajukan proposal pun bisa diberi proyek.
Dan yang tidak ada kedekatan, apalagi “beda gambar”, prosesnya (biasanya) lebih lambat, atau tidak masuk kategori prioritas. Dan jika diberi pun sebatas yang tertera dalam proposal itu.
Dari perumpamaan itu, dapat disimpulkan, konsep “mendekat” itu jauh lebih punya power dibanding konsep meminta. Dan cara berpikir bahwa meminta yang disertai “ngotot” itu, justru lebih efektif melalui cara-cara PDKT karena lebih familiar.
Sarananya mendekat kepada penentu kebijakan itu menentukan disetujuinya “proposal” yang disebabkan faktor kedekatan. Dan bukan hanya itu, dan sangat mungkin, selain yang diminta bisa “berbuntut panjang” berkaitan dengan permohonan yang lain.
Tenaga Dalam
Lain waktu saya bertemu guru tarekat di Solo. Saya merasakan ada yang agak ganjil pada dirinya, karena dia (masih) mengajarkan beladiri, kanuragan kepada anak-anak muda. Ketika itu saya tanyakan, dia mengaku sedang “menyamar” untuk sebuah misi.
Baca juga Keajaiban dan Dalam Keterdesakan
Walau secara pribadi beliau menekuni tasawuf, karena saat itu anak muda sedang gandrung tenaga dalam, maka dia mengajarkan tenaga dalam sebagai pancingan kepada kalangan muda. “Saya ikuti selera anak remaja dulu. Program saya, mereka yang sudah tingkat pendekar, nanti saya kenalkan ajaran tarekat (tasawuf).
Mereka yang sudah masuk tahap tarekat, tanpa diperintah pun, amalan (wirid) ilmu kesaktian mulai ditinggalkan. Namun demikian, tenaga dalamnya tetap bisa dilakukan, bahkan lebih powerful dan terarah.
Ada mekanisme metafisis yang tanpa harus dengan meminta, namun Allah berikan. Terbukti, ketika muridnya minta diajarkan jurus beladiri, guru yang tidak pernah belajar beladiri fisik, itu mampu mengajarkan kepada murid-muridnya.
Jurus-jurus yang diajarkan pun spontan, bersumber dari dorongan hati yang secara teori dibenarkan sesuai standar dunia persilatan, bahkan sebagiannya merupakan gerakan yang belum dikenal.
Inikah yang disebut laduni? Guru itu menjelaskan tentang rahasia hati. “Orang yang berupaya melatih dan manjaga hati dengan banyak mengingat (zikir) kepada-Nya, maka dia menjadi peka dengan cahaya-cahaya (nurullah) yang bertebaran memenuhi alam semesta ini, tuturnya.
Namun, aktivitas zikir itu menjadi kurang berarti ketika tidak diimbangi “melawan” nafsu atau mencegah yang dilarang. Karena fungsi dari zikir itu mencuci, sedangkan maksiat mengotorinya. Artinya, walau setiap saat dicuci, namun jika setiap saat juga dikotori, hasilnya pun menjadi kurang berarti.
Untuk memahami konsep “mendekat” ini, saya pernah mengikuti pelatihan sejenis yang cenderung pada hakikat (namun) tanpa syariat. Dari kalangan ini, saya melihat ada sisi plus yang berkaitan dengan hubungan antarsesama (hablum minannas).
Saya menyimpulkan, ilmu yang mengarah pada kasepuhan, lebih menitikberatkan pada pembersihan hati, karena mereka meyakini hati adalah sarana untuk menangkap dan mengurung ilmu. Karena hati yang dijaga menjadi peka sekaligus mampu “menarik” energi ilahiah.
Konsep menyerap ilmu ada yang dengan menekankan pada menjernihkan hati (padhang ati), karena hati yang bersih menghadirkan pengetahuan langsung dari-Nya. Disitulah pentingnya memiliki hati “hidup” yang menyebabkan proses mempelajari ilmu.
Menimba ilmu bukan hanya menghasilkan keahlian. Ingat kisah ketika Nabi Sulaiman AS diberi dua pilihan, antara ilmu dengan harta, beliau memilih ilmu. Karena dengan ilmu itu harta pun mudah diraih.
Masruri, penulis buku, praktsi dan knsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati