blank
Foto: ilustrasi

blank

KETERDESAKAN dengan keajaiban itu bagai ikan dan air. Keduanya sering menyatu. Misalnya, kisah pemuda Meir, penjual roti keliling pada zaman Bani Israil. Meir itu pemuda tampan dan berperilaku baik.

Karena ketampanannya,  suatu hari ada putri bangsawan terpikat padanya. Saat Meir menjajakan roti di depan istana, tuan putri memanggil Meir agar masuk istana. Dikira tuan putri mau membeli rotinya. Ketika Meir sudah masuk  tuan putri mengunci pintu lalu  berkata, jika Meir tidak melayani nafsu birahinya, tuan putri akan berteriak seolah mau diperkosa.

Dalam kondisi gugup, Meir menemukan ide. Dia berkata, ”Baiklah Tuan Putri, tapi sebelumnya saya minta waktu untuk ambil air wudhu dulu.”

Permintaan itu dikabulkan, namun kesempatan itu dimanfaatkan untuk melarikan diri. Dan satu-satunya jalan agar lepas dari jebakan itu, dia naik ke atas bangunan istana lalu melompat ke tanah. Sebelum nya Meir berdoa, “Ya Tuhan daripada saya melakukan maksiat, lebih baik saya terjun dari sini.”

Meir melompat, dan terjadi keajaiban. Saat kaki Meir akan menyentuh tanah, Allah mengirim malaikat untuk menyelamatkannya. Ini menunjukkan, “keajaiban” itu bukan untuk mereka yang mengolah batinnya saja. Karena hakikat dari keajaiban adalah pertolongan Tuhan, yang prosesnya tidak dapat dipastikan, bentuk dan waktunya.

blank
Foto ilustrasi

Baca juga Keajaiban dan Dalam Keterdesakan

Manusia tidak bisa memastikan bentuk keajaibannya, namun berhak  untuk mengupayakannya dengan cara banyak mengingat (zikir) dan bermohon kepada-Nya. Konsep ini  yang kemudian mengilhami para ahli hikmah, diantaranya banyak mengingat-Nya, melalui berdoa, zikir, wirid, Dsb.

Menurut  Syeikh Ahmad ibnu Athaillah  mengklasifikasikan, zikir itu terbagi dalam tiga bagian, yaitu zikir jali, zikir khafi dan zikir hakiki.

Zikir Jali adalah zikirnya lisan, berupa puji-pujian kepada Tuhan. Zikir ini bisa lakukan walau tanpa disertai ingatan hati.