AWAL tahun 80-an, saya bertemu guru tarekat asal Aceh di sebuah penerbit buku. Dalam pertemuan itu saya minta beliau memberi amalan rohani agar saya mudah dipertemukan dengan jalan (karier) yang terang.
Beliau lalu memberi petunjuk singkat, minimal dalam satu hari satu malam, berzikir kalimat Allah 1.000 kali. Saya yang terbiasa ketemu jawara dan minta amalan atau mantra kanuragan, tradisi yang ditanyakan itu doa “kasiat” atau manfaat dari zikir itu.
Beliau menjawab, “untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan karena dekat kepada-Nya, itu maka Dia yang nanti akan mengatur potensi Anda, sehingga Anda akan menemukan tugas Anda dalam kehidupan,” jawab Guru.
Saya yang lebih akrab dengan dunia padepokan, mendengar jawaban seperti itu jadi kurang semangat. Rasanya lebih mantab dan terhibur jika guru itu memberi amalan (doa atau wirid) dan dijelaskan apa saja khasiatnya.
Misalnya, agar sakti, berwibawa, karismatik, banyak pelanggan, atau sesuatu yang menjanjikan keajaiban. Karena dengan “iming-iming” janji keajaiban itu, maka saya bisa menjalankan konsepnya lebih semangat, karena ada “iming-iming” imbalan yang pasti itu.
Baca juga Rahasia Pawang Hujan
Menghadapi anak muda awam, guru itu memberi beberapa buku karyanya tentang tasawuf untuk saya dicermati isinya, dan itu perlu waktu cukup lama untuk memahami dan mencermatinya.
Ada beberapa pertanyaan tentang konsep baru itu, bagaimana mungkin, hanya dengan mendekat dan berserah diri pada-Nya, itu menyebabkan Tuhan melimpahkan karunia-Nya. Apa iya, orang tidak minta kok diberi, lha yang minta pun belum tentu diberi, pikir saya.