blank
blank
Sukataman MPd.(Foto:SB/Ist)

Oleh Sukataman MPd

KEBUMEN(SUARABARU.ID) -Bulan Ramadan sangat dinanti oleh setiap muslim di dunia. Segala amal baik berbuah pahala yang dilipatgandakan.

Oleh sebab itu Ramadan disebut juga bulan panen umat muslim. Bulan ini sengaja Allah memberikan kepada umat muslim agar semakin giat dalam beribadah.

Penulis pun teringat dengan perumpamaan yang disampaikan oleh Abu Bakr Al Balkhi bahwa “Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Ramadan adalah bulan memanen tanaman.

Menurut penulis, ini adalah perumpamaan yang tepat, karena umur tanaman padi dan jagung jika sudah siap dipanen membutuhkan waktu kurang lebih 3 bulan. Umur tersebut sepadan dan sama berurutan dengan bulan yang mulia yaitu Rajab, Sya’ban kemudian Ramadan.

Tiga bulan yang berurutan antara Rajab sampai dengan Ramadhan mempunyai klaim penamaan tersendiri. Beberapa ulama memberikan penamaan bahwa bulan Rajab adalah bulan Istigfar, sedang bulan Sya’ban adalah bulan shalawat kepada Nabi Muhammad, dan bulan Ramadan adalah bulan Al-Qur’an.

Namun yang paling kuat dari beberapa penamaan untuk Three Golden Month tersurat dalam Sabda Nabi Muhammad “ Bulan Rajab itu bulannya Allah, Bulan Sya’ban adalah bulan saya (Nabi Muhammad), sedangkan bulan Ramadan adalah bulan umat Saya”.

Tradisi Ziarah

Sejauh ini, tradisi ziarah kubur telah menjadi kultur mayoritas masyarakat muslim Indonesia  yang sudah menjadi akar jati diri dalam menenangkan jiwa dengan mengingat kematian. Kita sebagai anak dari kedua orang tua, mempunyai kewajiban berbakti dengan mereka. Wujuddari bakti salah satunya bisa diaplikasikan dengan mendoakannya ketika sudah di alam kubur.

Di Indonesia mempunyai keragaman tradisi keagamaan yang majemuk. Keragaman tersebut dikenal di mata dunia sebagai benteng kebebasan (bastion of Freedoom) dan jantung perdamaian. Masing-masing kelompok yang berbeda sudut pandang dalam amaliyah praktik agama tetap masih dalam payung tasamuh,  saling menghargai, saling mengerti, saling menghormati. Sementara tradisi ziarah kubur bagian yang tidak terpisahkan dari perbedaan itu.

Tentu yang paling unik di balik satir tradisi ziarah kubur bukanlah hanya mendoakan. Akan tetapi menyucikan keluarga yang telah meninggal melalui lantunan doa. Doa indah dibarengi dengan harapan sang dai menjadi senjata, perlengkapan, syarat menyucikan orang yang sudah tiada. Penyucian orang mati dengan harapan agar diampuni oleh Allah dilakukan anggota keluarga yang masih hidup dalam rangka memberikan tadzkirah bahwa Ramadhan is caming.

Tradisi Kerja Bakti Bersih-bersih

Kerja bakti berupa bersih-bersih menjadi agenda sosial warga dalam menjaga lingkungan. Dalam menjaga lingkungan terdapat makna menjaga kerukunan warga, dalam kerukunan warga terkandung keharmonisan bertetangga, dalam keharmonisan bertetangga mendatangkan kebahagian dalam bersosial. Namun, jika tradisi itu terjadwal sebelum dan mendekati bulan Ramadan bukan hanya memberikan arti kehidupan tersebut melainkan memberikan makna filosofi menyucikan diri melalui kebersihan lingkungan dalam siap menerima tamu suci yaitu bulan Ramadan.

Kegiatan bersih-bersih bisa dilanjutkan kepada bersih-bersih Mushala ataupun masjid. Kegiatan estafet tersebut anehnya dilakukan dengan riang gembira dan tanpa imbalan. Saya nukil dari artikel yang disinggung oleh laman BKKBN Kampung KB bahwa yang namanya kerja bakti merupakan kegiatan yang dilakukan tanpa mengharapkan imbalan uang, sukarela, dan hasilnya dapat bermanfaat oleh diri sendiri sendiri juga masyarakat.

Konsep tanpa imbalan adalah pondasi baik yang harus menjadi penggerak umat muslim dalam melakukan sesuatu. Penjelasan BKKBN Kampung KB dalam lamannya tentang pengertian kerja bakti berbanding lurus dengan konsep Ikhlas  dalam islam.

Islam mengajarkan dalam melakukan suatu perbuatan atau ibadah harus berlandaskan keikhlasan. Terlintas dalam benak penulis, beberapa ulama menafsirinya Qasdullahi Wahdahu Fi Al-Ibadah Duuna Siwahu (Menyegaja melakukan suatu perbuatan/ibadah karena Allah semata bukan karena yang lain). Ini berarti tradisi kerja bakti bersih-bersih lingkungan, makam dan tempat ibadah dalam rangka menyambut bulan suci sudah relevan dengan dinas terkait dan ajaran islam.

Tradisi Kirim Masakan Kepada Tetangga

Berbagi rezeki kepada orang lain tidaklah harus menunggu punya harta yang lebih. Namun bagaimana jadinya, jika berbagi masakan itu menjadi tradisi yang membudaya di lingkungan pada bulan Sya’ban.

Hakikatnya, masyarakat memberikan makanan terdapat makna yang tersibak -ungkapan syukur- selain itu, makna pemberian makanan bisa diartikan sebagai penguat hubungan sosial agar semakin harmoni.

Kembali fitrah manusia, setiap manusia yang diberi sesuatu oleh orang lain akan tumbuh kebahagian. Dengan kebahagian tersebut, fitrah manusia ingin kembali membalas dalam bentuk kebaikan yang sama atau pun yang lain. Inilah sebabnya pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suci tanpa dosa. Meskipun faktanya, dalam perputaran roda perjalanan hidup umat muslim terdapat khilaf.

Bersedekah dengan berbagi masakan atau makanan kepada tetangga menjadi benteng keamanan seorang muslim yang paling kuat. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah luwih becik pager mangkok, tinimbang pager tembok. Peribahaasa itu mengandung makna bahwa berbagi dan saling menjaga antartetangga dianggap strategi ampuh dalam perlindungan diri dan keluarga.

Istilah itu sejajar dengan ajaran syariat Islam yang disinggung dalam Sabda Rasulullah assadhaqatu tadfa’u al-balãa wa wiqãyata al-ardhi (sedekah mampu menolak balak dan terjaga dari penyakit).

Pemberian masakan dan makanan kepada tetangga memiliki makna lain, selain di atas. Adapula seseorang yang terbenak maqshudul a’dham berniat bersedekah mengatasnamakan seorang kerabat, anggota keluarga yang sudah meninggal. Melalui sedekah tersebut, hadits Nabi yang tertanam dalam kehidupan seorang terealisasi menjadi ampunan, pahala untuk seseorang yang sudah meninggal.

Melihat beberapa tradisi yang telah mengakar dan menjiwa dalam kehidupan umat muslim, khusunya di Indonesia. Bukanlah tradisi yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Tetap harus digaris bawahi, tradisi tersebut dilaksanakan bukan semata tradisi yang hampa makna makna dan hujjah-hujjah syariat.

Bagi penulis, terdapat sinyal makna filosofi yang kuat di dalamnya. Pertama, Umat muslim mensucikan diri dengan dzikir istigfar di bulan Rajab dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan. Kedua, Umat Muslim menyucikan lingkungan dan tempat ibadah dalam rangka mempersiapkan dan mengagungkan tamu suci yaitu bulan Ramadan.

Ketiga, mendoakan orang yang sudah meninggal atau bersedekah dengan atas nama orang yang sudah wafat memberikan makna menyucikan orang yang sudah meninggal dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadan.

Betapa mulia bulan suci Ramadan. Ritual ibadah dalam bingkai tradisi bukan lain dilaksanakan semata ingin tampak suci menerima tamu yang suci pra-menghadap Dzat yang Suci.

Semoga umat Muslim menjadi pribadi yang suci dan selalu dikembalikan dalam keadaan suci saat dipanggil Dzat yang Suci. Amin

Penulis dosen IAINU Kebumen