SEMARANG (SUARABARU.ID) – Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, Dr. Arja Imron mengatakan, menulis itu budaya tinggi.
Hal itu diungkapkan saat membuka Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Populer untuk dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang bekerja sama dengan PWI Provinsi Jateng, di Gedung SDB Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, Selasa (29/3/2022).
“Islam berkembang, karena para ulama dahulu suka menulis. Maka, kemudian tulisan-tulisan para ulama itu menjadi materi untuk mengembangkan Islam,” kata Dr Arja Imron.
Menulis, kata Dr Arja Imron, adalah budaya tinggi. Sedangkan berbicara itu merupakan budaya rendah. “Seandainya budaya menulis tergerus pragmatisme viralitas karena terdorong google adsence, maka tidak bisa membuat tradisi ilmu dengan baik. Pesan video dan gambar memang mudah ditangkap tapi itu untuk masyarakat yang berbudaya rendah,” katanya.
Baca juga Awal Ramadan 1433 H Beda, Santai Saja
Maka, Arja Imron pun mengajak para dosen untuk rajin menulis. Disebutkan, di era yang berbagai ukuran kemudian ditentukan oleh viralitas, untunglah untuk pengukuhan professor tetap berdasarkan karya, di antaranya karya tulis.
“Profesor tidak dikukuhkan karena keviralannya, tetapi tergantung seberapa banyak tulisannya. Kita sudah terjebak pada budaya yang rendah, kalau naik sedikit itu berat. Maka program menulis artikel ilmiah populer itu menjadi sangat penting,” jelasnya.
Menurutnya, banyak dosen di UIN Walisongo yang lulusan luar negeri seperti dari Mesir, Malaysia dan lainnya. “Tetapi bagaimana cara mereka menulis yang ilmiah dan populer bisa dipahami orang menarik. Bagaimana kiat-kiatnya, makanya ini kita ingin belajar dari PWI Jawa Tengah. Kami berharap peserta mengikuti sebaik baiknya pelatihan ini,” katanya.
Back to Text
Dalam kegiatan yang diikuti 27 dosen ini, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah Amir Machmud NS selaku keynote speaker mengatakan, saat ini telah terjadi pergeseran praktik jurnalistik dari teks ke audio visual. Hal ini melahirkan kesulitan dalam beradaptasi.
“Karena eksotika teks yang selama ini ada dalam konsep utuh jurnalisme yang gambarkan imajinasi dan keindahan narasi dipatahkan dengan informasi secara visual,” kata Amir Machmud.
Visual ini bisa berupa video atau penyampaian pesan secara simbolik yang ditekankan teks instan dan infografik yang filosofinya memperpendek daya tangkap melalui hal hal yang mudah dicerna.
Amir Machmud yang memberikan sambutan sekaligus sebagai keynote speaker menyebut, standar teks juga telah dihancurkan oleh kebutuhan viralitas media. Sehingga keindahan teks itu sekarang sulit untuk dinikmati.
“Ketika media banyak yang lebih mengutamakan menggoda, viral serta provokatif, ini sebuah keprihatinan,” ujarnya.
Pihaknya mengakui algoritma google itu adalah jurus atau kiat. Tetapi nilai-nilai jurnalistik yang diusung adalah sebuah kemunduran. “Pelatihan ini ingin saya jadikan ruang untuk mengajak kembali mempercayai pers. Kita tidak ingin membayangkan tulisan ilmiah mengajarkan viralitas, berganti ke arah teks yang simbolik. Tentu tidak mungkin seperti itu. Saya menyadari eksotika teks akan ketemu jalan lain dalam bermedia. Untuk itu mari bergembira menulis dan serius untuk back to text,” terangnya.
Menurutnya, tentu saja tulisan harus akuntabel, artinya yang bisa dipertanggungjawabkan dan dipercaya. Dalam hal ini setiap tulisan harus melewati verifikasi yang ketat.
“Kalau kita menulis ilmiah jurnal, video dan visual itu tidak mungkin, itu hanya pengayaan tabulasi yang melengkapi teks dalam karya ilmiah popular, karena ada kaidah selingkung dalam penulisan ilmiah. Ambilah spesialisasi atau kekhususan-kekhususan yang bapak ibu kuat disitu untuk menulis,” lanjutnya.
Sekretaris PWI Jawa Tengah Setyawan Hendra Kelana menyampaikan dalam membuat artikel ilmiah popular harus mengambil tema yang aktual dan menarik serta disertai dengan analisis yang tajam. “Tentu saja tema yang mengundang perhatian banyak orang dan menyangkut kepentingan masyarakat luas,” imbuhnya.
Dikatakan, banyak cara dalam mendapatkan gagasan atau ide untuk membuat artikel ilmiah popular. Di antaranya mengeksplor emosi pribadi atau orang lain, memodifikasi konten dari sumber-sumber akurat, menjabarkan data statistik, menjelaskan hal-hal yang bersifat umum dan lainnya.
“Yang paling penting dari semua itu dalam membuat artikel, hukum wajibnya harus penting dan menarik. Jadikan yang penting itu menarik dan yang menarik itu menjadi penting,” tandasnya.