blank

Anak di Bawah Umur dalam Pusaran Tindak Pidana Pembunuhan

Oleh : Gatot Eko Y

Dewasa ini pembunuhan merupakan tindakan keji yang dilakukan untuk merampas hak hidup secara paksa. Pembunuhan dapat dilakukan dengan sengaja maupun tidak disengaja. Pembunuhan yang disengaja biasanya terlebih dahulu diketahui oleh pelaku dari perbuatannya dapat mengakibatkan hilangnya nyawa sedangkan pembunuhan yang tidak disengaja, pelaku tidak mengetahui atas perbuatannya dapat mengakibatkan hilangnya nyawa. Pada dasarnya pembunuhan adalah perbuatan yang dilarang tetapi untuk beberapa keadaan tertentu membunuh diperbolehkan selama tidak melebihi batas kewenangan atau sebab-sebab tertentu yang telah diatur oleh undang-undang maupun peraturan agama.

Seiring berkembangnya zaman pelaku pembunuhan tidak hanya didominasi oleh orang dewasa saja melainkan melibatkan anak dengan variasi usia di bawah 18 tahun. Fenomena pembunuhan yang menimpa anak sebagai pelaku semakin membuat miris dikala melakukan proses perjalanan hidupnya, anak saat usia muda sudah tersandung masalah hukum dan menyandang gelar tak kasat mata sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) serta sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan sudah dapat dipastikan di sisa usianya yang sangat produktif akan dihabiskan di dalam penjara.

Berangkat dari tajuk di atas anak dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) “anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tidak pidana”.

Anak sebagai pelaku pembunuhan

Dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak tidak serta merta keinginan membunuh muncul tiba-tiba, pasti sudah terpikirkan adanya faktor yang mendesak untuk melakukan pembunuhan. Faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu seseorang dapat melakukan pembunuhan dan mengabaikan naluri perasaannya untuk ego semata. Tidak sedikit yang kita saksikan pembunuhan yang dilakukan anak dilatar belakangi oleh faktor tersebut.

 

Pembunuhan yang dilakukan oleh anak pada awal tahun 2018 lalu di Kota Semarang menjadi bukti bahwa faktor ekonomi menjadi penentu perilaku anak kedepan. Kasus yang sontak mengkagetkan masyarakat Kota Semarang itu menuai banyak perhatian pasalnya usia pelaku masih belasan tahun dan masih mengenyam bangku pendidikan sekolah. Pelaku berbekal pisau dari rumah yang sebelumnya telah direncanakannya guna membunuh sopir Go-Car pada malam hari untuk selanjutnya lebih leluasa mengambil barang berharga korban. Diketahui motif pelaku melakukan pembunuhan lantaran harus membayar tunggakan uang biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sekolah yang belum terbayarkan

Melansir data statistik dari bank data perlindungan anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam rentang tahun 2016-2020. Anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan pada 2016 sebanyak 48 anak, mengalami peningkatan pada 2017 sebanyak 51 anak, ditahun berikutnya mengalami peningkatan pada 2018 sebanyak 54 anak, terlihat adanya penurunan pada 2019 sebanyak 46 anak dan puncak penurunan pada 2020 sebanyak 8 anak. (Sumber : kpai.go.id)

Anak yang terlibat sebagai pelaku pembunuhan mengalami eskalasi dari tahun 2016-2018 walaupun pada tahun 2019-2020 mengalami kecederungan penurunan signifikan tetapi hal tersebut tidak menjadi patokan untuk dibenarkannya melakukan tindakan pembunuhan dan segala macam jenis tindak pidana lainnya. Hal tersebut juga tidak memberikan rasa ketenangan di tengah masyarakat saat anak usia belasan tahun melakukan pembunuhan. Banyaknya peristiwa anak berhadapan dengan hukum menimbulkan keprihatinan tersendiri dibenak bangsa Indonesia. Akan ada banyak anak yang bukan hanya kehilangan masa produktifitasnya tetapi juga hak-hak lainnya, seperti hak untuk memperoleh pendidikan, hak mendapatkan kasih sayang yang utuh sehingga mengakibatkan anak menjalani hidup mereka sendiri tanpa memiliki arah tujuan yang jelas.

Upaya preemtif

Menjadi bahan refleksi bersama khususnya bagi orang tua untuk mengajarkan budi pekerti mengenai nilai-nilai dalam kehidupan. Nilai-nilai apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pada tatanan masyarakat termasuk agama. Dalam Islam dikenal ibu sebagai guru pertama bagi anak mereka sendiri. Ibu adalah madrasah utama sebelum anak terjun dalam kehidupan lingkungan sosial yang lebih luas. Karena pendidikan yang didapat di rumah adalah pendidikan yang paling mendasar, maka pendidikan ini tidak bisa dilakukan dengan main-main. Posisi ibu dalam hal ini menjadi amat sangat menentukan tumbuh kembang anak. Hingga kemudian pada 26 Januari 1990, Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Hak Anak. Kemudian mengesahkan Konvensi Hak Anak sebagai aturan hukum positif meratifikasinya pada 5 September 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.  Memaktubkan peran orang tua dalam pasal 18 ayat (1) Konvensi Hak Anak “negara-negara peserta akan berusaha sebaik-baiknya untuk menjamin pengakuan atas prinsip bahwa orang tua mempunyai tanggung jawab bersama membesarkan dan membina anak. Para orang tua atau demikian halnya, para wali, memikul tanggung jawab utama untuk membesarkan dan membina anak. Kepentingan terbaik dari anak-anak akan merupakan kepentingan utama mereka”.

Disamping peran aktif orang tua, negara juga memiliki tanggung jawab yang tidak kalah penting. Negara memiliki instrumen lembaga-lembaga untuk menyediakan penyuluhan bagi anak-anak disegala lini pendidikan baik tingkat dasar sampai tingkat atas mengenai bahaya konkret dari suatu perbuatan tindak pidana. Diharapkan lembaga yang melaksanakan kegiatan tersebut bisa mengeksplor ilmu pengetahuan kepada anak agar ilmu yang didapatkan mudah dipahami. Sehingga peran negara berhasil meminimalkan penanggulangan kejahatan melalui jalur penal yang bersifat repressif (pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi.

Upaya perlindungan terhadap anak sebagai pelaku

Perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan ada di Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:

  1. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
  2. dipisahkan dari orang dewasa;
  3. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
  4. melakukan kegiatan rekreasional;
  5. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
  6. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
  7. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
  8. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
  9. tidak dipublikasikan identitasnya;
  10. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
  11. memperoleh advokasi sosial;
  12. memperoleh kehidupan pribadi;
  13. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
  14. memperoleh pendidikan;
  15. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
  16. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apabila muncul dalam fakta persidangan anak benar melakukan pembunuhan maka hukuman yang diterima anak 1/2 dari hukuman orang dewasa atau hanya berkisar 10 tahun dari lama maksimal waktu pidana penjara 20 tahun.

Dengan demikian pembunuhan yang dilakukan oleh anak dipandang perbuatan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum. Dilakukannya upaya-upaya preemtif pada anak guna membantu mengembangan paradigma baru karena anak sebagai sumber daya manusia yang mempunyai banyak potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, tidak lagi berani berbuat melawan hukum serta mampu menekan laju kenakalan sejak dini dan segala bentuk perilaku tindak pidana yang tidak diinginkan. Walaupun semangat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 memberi hak-hak khusus kepada anak sebagaimana yang tidak diberikan kepada orang dewasa mengenai restoratif justice, diversi dan menitik beratkan kepentingan anak selaku pelaku. Undang-undang ini tidak bisa mencakup semua kategori tindak pidana atau menyama ratakan perbuatan anak dimata hukum.

(Gatot Eko Y, mahasiswa Fakultas Hukum UNISSULA, Semarang).